Chapter 9
Howon merenungkan kata – kata
Min-ah hingga tak sadar dirinya telah sampai di apartemen. Howon membuka pintu
apartemen, lalu di lihatnya Song duduk di Sofa panjang.
“Song?!” panggil Howon, tapi jelas
– jelas Song telah duduk di depannya. “apa kau sudah tahu masalah ini
sebelumnya?”
“iya,” Song mengangguk. Ia berpikir
Howon sedang membicarakan masalah Min-ah yang entah kenapa ada di rumah sakit.
“kenapa sekarang pun kau masih
berbohong?” Howon melepaskan headset yang dipakai Song
“apa? kenapa?” Song memandangnya
dengan penuh tanda tanya. ‘ada apa sebenarnya?’ pikirnya saat melihat wajah
Howon yang terlihat lelah
“sebelumnya, kau pernah membuka
kamera milik Min-ah bukan?”
“ya, dan isinya kau tahu?” Song
tertawa sejenak kemudian tawanya mulai memudar
“jadi benar?” Howon berharap Song
segera menjelaskan, tapi dilihatnya ia masih belum paham. “kau masih
berkomplotan dengan mereka?” mata Song terbelalak lebar
“iya,” nada bicaranya mulai memanik
“haruskah kau mengambil kameranya?
Untuk apa?” Howon merasa kecewa, ia pergi berlalu dari hadapan Song yang masih
diam setelah beberapa saat tak ada jawaban darinya
“apa?!” Howon berhenti di tempat,
Song berdiri dan berkata “Jadi kau pikir aku penguntip? pemabuk? Lalu apa lagi
sekarang seorang perampok begitu?” Howon masih diam, ia tak menyangka Song
berkata begitu, “jangan bilang hanya karena kau mau mengijinkanku menumpang di
sini, kau bisa berkata begitu padaku” Song melewati Howon ketika Howon hendak
berbalik menghampirinya, lalu pergi begitu saja.
Howon memejamkan matanya dan
berusaha kembali tenang. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan lagi, ia tak
habis pikir kalau benar Song melakukan hal yang senaif itu hanya untuk
mempermainkan Min-ah. Ia juga tak menyangka ia akan bereaksi seperti itu, ia
benar – benar bingung untuk saat ini. Howon kemudian meraih ponsel yang
tergeletak di samping ranjangnya, ia lupa untuk sehari penuh membawa ponselnya,
bagaimana bisa? Usianya baru 23 tahun, kenapa bisa begitu. Saat membuka tobol
on, ia mendapati sebuah pesan dari Song lalu membukanya
“sebenarnya aku ingin memberitahumu
lebih awal tapi aku lupa. Aku membawanya setelah ku temukan di dekat taman,
mungkin gadismu lupa” Howon kembali mencermati kata – kata itu berulang –
ulang, jadi Song bukanlah orangnya, dia tidak bersalah. Howon menghampiri
lemari kecil yang berada di ruang depan dekat TV lalu membukanya dan ia dapati
sebuah kamera milik Min-ah. ‘lalu siapa? Apa motifnya?’ Howon bertanya – tanya
dalam hati.
*******************************************************************************************************************
Saat pintu itu dibuka, bau obat –
obatan keluar menyerbak ke seluruh penjuru. Goun sejenak ragu, namun ia
berusaha menarik ujung bibirnya ke atas sehingga tercipta sebuah senyumanya untuk
Min-ah, kalau dipikir ketimbang dirinya Min-ah lah yang jauh menderita.
“Hai” sapa Goun menghampiri kursi
duduk pengunjung di samping ranjang Min-ah
“apa itu?” Min-ah bangun,
menyandarkan tubuhnya ke belakang, menumpu punggungnya dengan setumpuk bantal
“bisa kau lihat, bukan?” Goun
menarik ujung tasnya itu, dan terlihat sebungkus makanan telah berhasil
diseludupkan
“wah..., tidak sia – sia aku
menyuruhmu” puji Min-ah dengan senyum kebebasannya
Goun menempelkan jari telunjuknya
di depan mulut seraya berbisik “ssttt... kalau mereka tahu, aku bisa dimarahi”
Min-ah mengangguk – angguk mengerti, lalu menoleh kiri dan kanan layaknya
seorang detektif was – was pada penjagaan. Min-ah benar – benar sudah bosan
dengan makanan tawar di rumah sakit ini, jadi Goun bersedia mengelurkan pundi –
pundi kekayaannya untuk membeli makanan pesanan Min-ah yang tak tanggung –
tanggung di pesan dengan harga di atas makanan normal yang biasa dibeli Goun
sendiri, itulah salah satu alasan mengapa Goun juga ikut menderita. Min-ah
makan dengan lahap makanannya yang berbau daging pedas itu, tak tanggung
sesekali ia memasukkan dua potong daging ke dalam mulutnya sekaligus, hingga
membuat Goun nyaris hilang kendali, kalau bukan karena Min-ah sakit ia masih
dapat menahan tubuhnya mengamuk sejadi – jadinya di hadapan Min-ah. Hingga pada
akhirnya, Goun menyalakan remot kontrol TV. Tepat saat itu juga, Min-ah ikut
melihat suatu iklan konser grup band ‘infinite’ yang akan dilaksanakan besok
lusa. “upps” ucap Goun pelan kemudian ia segera memindah canel TV. Dilihatnya
lagi wajah Min-ah yang masih melongo kemudian segera menghabiskan kembali
makanan seludupannya.
“Tok tok tok...” suara pintu
diketuk, seorang perawat mengantar sarapan pagi Min-ah, sedang Min-ah bergegas
mengemasi kotak makan paginya itu kemudian disembunyikan di bawah kaki
penyangga kasur. Selang beberapa saat Goun mengambil sarapan pagi Min-ah sambil
berkata
“makanan seperti ini yang kau
bilang makanan neraka?” ucap Goun setelah mencicipinya sesendok makan
“ya, kau kan hanya sekali ini.
Bayangkan kalau setiap hari!” bantah Min-ah dengan kesal
“ok. Tapi lumayan” kata Goun tidak
jelas karena mulutnya penuh dengan bubur tawar yang bahkan Goun sendiri doyan,
mungkin karena lapar, ya....lapar
“menurutmu, apa Hoya marah padaku?”
Min-ah memandang ponselnya sejenak kemudian melemparkan wajah polosnya kepada
Goun yang kini tersedak
“kenapa? Apa alasannya?” Goun
menghampiri ranjang tinggi Min-ah kemudian duduk di sebelahnya
“apa menurutmu, aku tidak terlalu
kejam?” Min-ah menatap Goun dengan rasa ingin tahu
“kau kejam? Tentu saja, lihat
berapa biaya yang telah ku keluarkan hanya untukmu? untuk makanmu sehari saja
lebih dari gajiku selama 3 hari, ditambah pengurangan waktuku tidur, nonton TV,
kerja dan parahnya aku jadi boros bensin cuma buat pulang pergi ke rumah sakit”
Goun tertawa tak sadar dirinya terlalu emosi. Min-ah memandangnya dengan rasa
bersalah sekaligus rasa jengkel. “maaf, bukan begitu maksudku” ucapnya tulus.
“hey, kalau kau masih berfikir kejam pada Hoya?! Kau salah, itu hanya masalah
waktu saja” Goun memegang tangan Min-ah berharap Min-ah mengerti perkataannya.
Saat itu juga seseorang membuka pintu kamar,
“Hoya” gumam Min-ah saat mengenali
siapa pria bertopi di depan pintu
“maaf mengganggu,” ucap Howon
menyipitkan matanya. Mengetahui hal itu Goun langsung mendapat membaca rangsangan
negatif dari Howon, dari caranya melihat mereka
“Hey,” Goun melempar tangan Min-ah,
ia tersentak lalu kembali duduk di kursi tamu “ah... aku masih waras” ucap Goun
acuh tak acuh sambil membalikkan badannya untuk menonton TV
“Hi, Hoya” sapa Min-ah
“oh...Hi, apa kabarmu?” Howon
meletakkan sekranjang buah di meja kecil yang terletak di sebelah ranjang
Min-ah
“baik,” Min-ah tersenyum. Senyumnya
seperti lama tak ia jumpai, Howon merasa tenang. Tapi, sejujurnya ia tahu ada
suatu hal yang masih belum diceritakan Min-ah. Itukah alasan Howon datang
kemari?
“em...aku perlu bicara sebentar
denganmu” Howon tidak benar bermaksud mengusir Goun
“ok, aku akan keluar” Goun
mengangkat kedua tangannya ke atas yang satu diantaranya masih memegang remot
“maaf, Goun. Bisakah kau belikan
yang tadi?!” Min-ah memiringkan kepalanya, agar ia dapat melihat Goun yang
sedang berjalan menuju pintu depan
“iya” kata Goun datar seraya
menutup pintu itu. “masih perlu apa lagi putri?” Goun kembali membuka pintu
“apa ya.....” Min-ah sedang berpikir, ia
juga tidak mau merepotkan Goun terlalu lama. Ia pikir Goun sudah cukup
menderita jadi mungkin ia akan meminta sesuatu untuk persediaan hari ini, agar
malamnya Goun tidak usah terbangun untuknya.
“ah,, tidak usah. Biar aku saja
nanti yang belikan” potong Howon tidak merubah reaksi gadis blasteran itu.
Aneh? Kenapa? Entahah...
Goun menutup pintu itu kembali,
dirasanya Goun sudah benar – benar pergi. Kini tinggal ia dan Howon saja yang
ada di dalam.
“pesanan apa?” tanya Howon tiba –
tiba
“bukan apa- apa” Min-ah menutup
matanya membayangkan betapa ia merindukan pesanannya untuk segera diantar
“rahasia” bisik Min-ah dengan meletakkan tangan kirinya di depan wajah sambil
memelankan suaranya “jangan sampai ada yang tahu. Di-la-ra-ng”
“kau tidak benar ingin bir kan?”
tanya Howon, kali ini suaranya terdengar mengancam
“sudah ku bilang, aku tak mau
meminum yang seperti itu”
“lalu?”
“ice cream” jawabnya dengan senyum
kepuasan. “lalu kau mau apa kesini? Seharusnya kau kan ada di kantor?!”
“ada apa dengan malam itu?” Min-ah
langsung paham kemana arah pembicaraan itu beralih
Min-ah benar – benar tidak tahu
harus memulainya dari mana, ia masih mencobam“jadi,” Min-ah mulai membuka
mulutnya, Howon masih menunggu. “entahlah, apakah perlu kau tahu hal ini? Ku
pikir kau ini siapa? Dan ku rasa ini tak ada hubungannya denganmu” Min-ah masih
terus menatap kosong setumpuk buah yang ada di sampingnya
“aku? Aku ini sahabatmu” entah
kenapa Howon merasa marah, mungkin karena Min-ah benar tidak mau menjawab
alasannya secara detail
“lagi pula kemarin aku sudah
cerita, dan sekarang tak perlu ada yang dibicarakan lagi tentang hal itu”
Min-ah menekan kuku jempol kirinya dengan jari telunjuk dan ibu jari kanan
“kemarin kau hanya bilang bahwa kau
dikeroyok tiga orang di bar, itu saja?” nada bicara Howon mulai meninggi. “apa
itu dak ada hubungannya denganku? Kau belum menceritakan apa alasan mereka”
“sama” jawab Min-ah datar. “sama”
ulangnya sekali lagi.
Howon termenung diam ia seakan
kembali ke masa lalu tempat di mana dulu mereka merayakan acara kampus ke
sebuah bar dengan teman – temannya. Suara musik yang begitu keras, tempat yang
gelap meski dengan lampu warna – warni menyala terang sedang di sebuah sudut
ruangan, mereka berdua duduk di satu meja.
“Min-ah apa yang sedang kau
lakukan” salah seorang teman menghapiri meja mereka
“hanya mengotak – atik ” jawab
Min-ah berteriak pula, kedua tangannya memegang kamera. Howon hanya menatap hal itu wajar saja karena Min-ah
mencintai fotografi sejak pertama masuk kuliah
“Kau masih mau duduk diam di sini?”
tanya Min-ah pada Howon setelah beberapa menit waktu mereka habiskan untuk duduk
saja.
“lalu harus bagaimana?” tanya Howon
dengan sebuah senyuman membujuk
“baiklah, kau boleh melakukannya.
Itu yang kau mau, aku tunggu di sini” kata Min-ah memperbolehkan Howon pergi.
Sesaat setelah itu, Howon mulai
beraksi. Gerakannya lihai bagai penari profesional, Min-ah sendiri terkagum –
kagum melihatnya. Ia bahkan berjalan ke depan agar bisa melihatnya lebih jelas,
juga tak lupa ia menyodorkan kameranya untuk mengambil gambar Howon. Beberapa
kilatan cahaya dari kameranya mulai menyerbak, Howon masih menari, musik masih
mengalun tapi entah dari mana datang pula segerombolan orang menghampiri
Min-ah. Ia tak tahu apa alasan mereka mendatanginya, ia hanya membiarkan itu
terjadi, ia pikir mereka mendekat untuk ikut melihat Howon menari. Howon
berhenti, musik seketika mati Min-ah berusaha meloloskan diri dari kepungan
orang – orang itu, mereka berjumlah sekitar 5 orang atau bahkan lebih. Min-ah
merasa pergelangan tangannya patah, tapi ia coba untuk keluar meski tanpa
kameranya, dan berhasil. Ia menjauh, ia berusaha menyingkir menyelamatkan diri.
Ia tak tahu harus berbuat apa, ia sendiri ketakutan. “apa kau baik?” tanya
Howon ragu. Min-ah hanya diam dan terus diam di sepanjang perjalanan pulang. ia
sendiri pulang duluan dengan Sung-He,
“Apa kau yakin masih mau jalan
pulang ke rumah?” tanya Sung-He khawatir. Min-ah mengangguk menahan air matanya
turun membasahi tangan Sung-He, karena Sung-He memegangi bahu Min-ah
menuntunnya berjalan. Dari jauh Howon memerhatikan mereka, ia yang sedang
memakai mobil cadillac berjalan pelan di belakang mereka.
Saat Howon melihat salah satu
diantara segrombolan orang yang ada di bar itu ia segera memberhentikan
mobilnya, tepat di seberang jalan. Min-ah dan Sung-He yang ikut mendengar
perkelahian, mereka juga ikut menoleh ke belekang, dilihatnya Howon yang tengah
berjalan mendatangi mereka dengan membawa kamera milik Min-ah yang mungkin
sudah dapat dibilang tak utuh karena tak ada lensa, hanya sebuah lubang kosong
tak berlensa, sementara pelaku itu berlari menyelamatkan diri.
“Hoya?! HOYA!!” panggil Min-ah
berkali – kali.
“nhe” Howon menoleh menatap gadis
berseragam biru panjang yang kian nampak pucat
“apa kau ada masalah?” tanya Min-ah
hati – hati, Howon menggeleng. Min-ah menunjuk jam beker yang baru saja tadi
pagi dibawakan Goun. Howon masih tak mengerti. “apa kau sedang melamu? Seorang
suster datang kemari, memintaku untuk beristirahat” jelas Min-ah
“oh, ya” Howon masih duduk.
Sebenarnya kemana jiwanya? Tubuhnya seakan tak bernyawa, ia masih diam meski
kata – katanya meluncur keluar
“Hoya” Howon menoleh, ia benar –
benar merasa kasihan pada gadis itu, ia merasa dirinya masih ingin tinggal.
Tapi untuk apa? semua sudah jelas, tak ada lagi yang perlu ia ketahui lagi.
Min-ah sudah bercerita, Howon juga sudah mengerti. Ia kasihan, karena dirinya
sendiri menyita waktu berharga pasien. Setelah ini pun Min-ah akan terbangun
mungkin untuk cek up atau makan siang atau seorang servis yang bersih – bersih
ruangan.
“maaf, aku akan keluar. Kalau kau
butuh sesuatu, kau bisa memanggilku” Min-ah memanyunkan bibirnya menatap sipit
bercampur penasaran pada pria yang tak biasa meluangkan waktunya sia – sia.
“maksudku, ya kalau perlu. Ku lihat Goun begitu lelah. Dan aku juga masih cuti
kerja” tambahnya begitu melihat ekspresi Min-ah yang menjadi – jadi
“iya, aku jadi merasa bersalah”
“tenanglah hanya sekali” jawab
Howon sambil tersenyum santai
“bukan kau, tapi Goun” bantah
Min-ah jujur, lagi pula kalau benar ia merasa bersalah pada Howon seharusnya
sudah dari kemarin ia akan memarahi Howon agar tidak datang. Memarahi? Bukannya
kemarin ia sendiri jengkel pada Howon?
“ok, siapa pun itu” Howon menghela
nafas menyesal karena bertingkah ‘sok tahu’. “dan ku harap kau segera baikan,
karena--”
“kau tak bisa datang kemari lagi
kan?” potong Min-ah
“kau benar, tapi alasanmu salah.
Aku belum selesai bicara, jadi karena kau
harus bekerja” Howon berbohong. Jelas hal itu tak mau ia akui “teman
kantormu menanyakanmu, apa kau yakin sudah memberitahu mereka?” mata Min-ah
memandang ke atas pertanda bahwa ia sedang mengingat – ingat sesuatu kemudian,
ia menggeleng “dan karena apartemenmu sepi mereka menemuiku. Itu benar – benar
mengganggu” benahnya kembali. Min-ah menghela nafas panjang “aku harus
menandatangani baju mereka, atau bahkan tas mereka” Min-ah menguap
“kau sudah selesai bercerita?”
tanya Min-ah, sejujurnya ia hanya bercanda tapi,
“Mianhe,” Howon menundukkan kepala,
ia merasa bersalah. Sekarang waktu Min-ah beristirahat telah ia pakai. Sekali
lagi “Miahe, aku pergi. Jangan lupa istirahat yang banyak” Min-ah menganggukkan
kepala lalu,
“tasmu ketinggalan” Howon tersenyum
lalu menutup pintu. Min-ah ragu sejenak membukannya, ia pikir Howon tak
mendengarnya. Saat ia mulai membuka dilihatnya sebuah kamera, kamera miliknya.
Ia berharap Howon tidak benar – benar membuka isinya, tidak, ia salah bahkan
sudah ada orang yang lebih dulu melihatnya. Bagaimana dengan tiga orang itu?
TBC.............................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar