Minggu, 30 Juni 2013

Camera Has Stories



ff Lee Ho Won

Chapter 10

         “akhirnya kita pulang?” Wajahnya bahagia, walau tampak masih pucat. Sejenak ia berhenti, ada sesuatu di sana yang menarik perhatianya. Ia berjalan mendekati sebuah restoran Jepang.

“kau mau ramen?” gumam Goun pelan



“apa Howon tahu ini?” sebuah pamflet konser Infinite terpajang di dinding kaca restoran. 

“entahlah” kata Goun sambil berlalu melewati Min-ah yang masih berdiri di sana, “sudahlah, kau akan sembuh secepat mungkin” tegasnya

“baiklah” Min-ah menyusul meski sudah ditinggal jauh oleh Goun.


           Sederet cermin rias terpajang di dinding itu, empat buah kotak kosmetik sudah terbuka sedari tadi. Seorang pria sudah duduk di salah satu kursi rias paling ujung, matanya tak lepas mengawasi layar ponsel yang tak henti – hentinya menyala. Sekejap raut wajahnya mulai berubah, MyungSoo segera berdiri. Bibirnya terus saja bergumam seperti sedang mengucap mantra, tidak. Ia sedang membaca, mungkin itu alasannya kedua alisnya bertemu sedang matanya semakin menyipit
                                                                                               
Ia melangkah masuk ke sebuah ruang latihan yang ternyata masih menyala terang. Kakinya yang mulai menginjak lantai itu, bahkan dapat merasakan getaran dan alunan irama yang terasa, Howon.

“Oh.. kau rupanya” Howon berhenti dan membalikkan badan. Sebenarnya tanpa membalikkan badan pun ia masih dapat melihat MyungSoo dari cermin, tapi dengan rasa hormat sudah sepantasnya ia melakukan itu. “ah..chincha. Jangan pasang wajah seperti itu” Howon menepukkan tangan kananya ke dahi.

“lagi? Kau ada masalah apa?”

“masalah? ” pikirnya kemudian menggeleng dengan raut wajah polos tak bersalah

“benarkah? Lalu bagaimana foto – foto ini bisa diunggah?” Myungsoo meyodorkan ponselnya ke Howon

“aku tak tahu” Howon melihat sekilas foto itu, kemudian meraihnya dan mencermati gambar yang terlihat di layar ponsel Myungsoo “Tapi ini benar”. Howon tersenyum padanya, lalu menepuk – nepuk bahunya berulang kali yang berarti ‘tenanglah semua akan baik’ begitu maknanya melalui tatapan Howon.

“Hey” Myungsoo menoleh ke belakang di mana Howon telah melewatinya tapi ia tetap berjalan sembari mengangkat lima jari tangan kanannya ke atas.

          
Jam perlahan menunjuk pukul 7 malam, tak seperti biasanya seharusnya kini ia menelfon Min-ah menanyakan kabarnya. Tapi bagaimanapun juga sesenggang apapun waktu luangnya tak akan ia sia – siakan dengan percuma, ia merasa perlu menjaga jarak. Lalu apa yang akan Howon lakukan sekarang? Setelah foto – fotonya tersebar? Foto – foto itu adalah bukti dimana Howon sedang berkelahi, di supermarket dan foto saat Howon keluar dari rumah sakit di mana Min-ah dirawat. Ia cemas, tapi jika gegabah sama saja ia membuat Min-ah juga terancam.



            “kau sedang apa?” Goun menengadahkan tubuhnya di samping Min-ah yang sedang tersandar di dinding sambil memegangi kameranya.

“um... kira – kira Howon lihat tidak ya?” Gumamnya pelan

“liat apa?” Goun menyingkirkan buku yang menempel dari wajahnya, berusaha melihat raut wajah Min-ah yang terselubungi atmosfer cinta

“ini” tanpa pikir panjang Min-ah langsung menyerahkan kameranya itu.

“ya Ampun!!” ucap Goun tak percaya saat memencet tombol view. “OMG!!” teriaknya lagi, kali ini tubuhnya terlihat mudah untuk bangun saat ia memencet tombol play

“Goun?” Min-ah memanggilnya, Goun menoleh mengangkat kedua alisnya tajam “jangan bilang siapa - siapa” Min-ah mengambil selimut di depannya lalu membungkus wajahnya yang memerah

“hahahaha” Goun tertawa kegelian. Ia tak menyangka gadis kecil dihadapannya itu, kini sudah dewasa “ah, ini wajar. Tak usah malu. Aku bercanda, aku tidak marah” Goun mencoba membuka selimut itu, tapi Min-ah masih memegangnya erat – erat seakan bila dilepas selimutnya, ia akan meleleh. “kau tahu? Dulu aku juga seperti itu”

“membuat film dari rangkaian foto?” tanya Min-ah menyingkirkan selimut yang terasa panas sekarang

“bukan” jawab Goun pendek

“lalu?”

“lebih parah dari itu!” katanya sambil menutup wajahnya “aku membuat sebuah cerita untukku dan dia” Goun masih menutup wajahnya

“siapa?” Min-ah merasa belum jelas siapa yang dimaksud ‘dia’ di ceritanya

“siapa lagi? Song!” Goun gantian memasukkan tubuhnya dalam selapis kain tebal yang tak lain adalah selimutnya

“benarkah?” Min-ah acuh tak acuh dengan pertanyaannya sendiri, ia tak peduli Goun menjawabnya atau tidak

“Hm, sekarang jangan bahas itu lagi” Goun membenamkan suaranya di atas bantal

“bukankah kau dulu yang pertama memulainya” Min-ah duduk bersila menoleh ke arah Goun yang mungkin sekarang sedang terisak. Goun tetap diam di tempat meski Min-ah sudah berulang kali keluar masuk kamar. Ia tak menyangka pembicaraan sekecil itu mampu menusuk hatinya. “Goun?” tak ada jawaban hanya terdengar suara ingus, benarkah? Ia benar sedang sedih. “oh... Goun, aku minta maaf” Goun mengangguk

“tolong” Goun menoleh kearah Min-ah dengan mata yang sembab dan hidung yang beringus. Min-ah mendekatkan telinganya di samping Goun, karena mulut Goun tertutup lengan tangannya sendiri, jadi tidak terlalu jelas. “matikan lampu” ucap Goun pada akhirnya. Min-ah menyesal sebuah uluran rasa kepedulian yang semula keluar karena rasa bersalah terhapus sudah karena mulut Goun penuh dengan liur, Goun sedari tadi tidur!
****************************************************************************************************************

“Hey” Howon meletakkan ponselnya di atas meja, namun matanya menatap kosong di luar sana

“apa? kenapa?” Howon sedikit terganggu dengan sikap Myungsoo yang masih kesal padanya.

“setelah ini, aku ijin ke luar. Jadi acara kita aku batalkan” Howon masih terpaku menatap lalu lintas dari atas gedung itu

“terserah apa maumu” Myungsoo mengeluarkan ponselnya. Bagi Howon hal seperti ini sudah biasa, ia tahu bagaimana sikap Myungsoo yang kerap jengkel padanya karena wajar sebagai sahabatnya Myungsoo berusaha selalu memberi nasihat baik.

“O.ya, sebelum aku pergi aku juga ingin ambil cuti. Beberapa hari saja?!” Howon beralih bahagia. Ia berharap sahabatnya itu memberikan saran terbaik untuknya

“memang kau pikir aku menejermu?” Myungsoo melihat sekilas ke arah Howon, kemudian melanjutkan lagi dengan kesibukannya memelototi layar ponselnya. “ah... jangan kau buat aku terlihat jahat dengan senyummu itu” Myungsoo melepaskan sekotak kado dengan sampul pink dan pita kuning.

“apa ini?”

“dari penggemarmu, mungkin. Seseorangnya menaruhnya di mejaku, tapi kupikir itu untukmu”

“kenapa begitu?” tanya Howon dengan menatap lekat – lekat sebungkus kotak itu. “kenapa kau pikir ini untukku? Di sini tak ada tulisannya sama sekali, apalagi namaku” Howon penasaran dengan rencana apa yang disembunyikan Myungsoo, ah.. kenapa?

“bukankah kau suka warna pink?” Myungsoo tertawa

“dasar kau ini!” Howon memukul bahu Myungsoo. Yang benar saja? Manamungkin Howon menyukai warna pink?!! Jelas bukan!

 

            Goun mondar – mandir keluar masuk ke ruang tengah. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu.

“kau sedang cari apa?” tanya Min-ah akhirnya setelah merasa terganggu dengan suara langkah kaki Goun yang melenyapkan kesunyian yang sedang ia nikmati

“ah... bukan apa – apa. Hanyalah proyekku”

“oh... buku yang bertumpuk di sini?” Min-ah menunjuk lantai kosong di sampingnya

“hm” Goun mengangguk keras. Seperti perkiraanya, ia tidak salah lagi sebelumnya benar ia taruh di sana. “di mana sekarang?” tanya Goun cepat lebih cepat dari siapapun, logat bicaranyapun menjadi ke barat – baratan.

“oh.. kalau tidak salah aku taruh di....” Min-ah mengingat – ingat sementara Goun mengepalkan kedua tangannya di depan dada, berharap ia tak kehilangan barang berharganya itu. “di atas lemari itu” akhirnya Goun dapat kembali bernafas

Setelah beberapa menit kemudian, Goun terus saja membolak – balikkan halaman buku tebal itu sementara Min-ah masih saja tiduran di sana, “ti...ti..tiDAK” Min-ah bangkit, ia terduduk kaget, dilihatnya Goun masih tercengang menatap kosong halaman buku yang terbuka lebar

“kenapa?” ia melepas headset yang sedari tadi terpasang di telingannya

“aku lupa menaruh nomor ponselnya!!” Goun tertunduk lesu, air matanya sempat terjatuh membasahi buku itu

“siapa?” Min-ah mendekat berusaha menghibur

“model yang baru – baru ini aku pilih, bagaimana sekarang?”

“temui saja menejernya”

“manamungkin, dia masih baru dan baru saja aku kontak bosku dia juga tidak menyimpan”

“kenapa bisa kau lupa? Bahkan kau tidak langsung menyimpannya di ponselmu?” Goun semakin tertunduk “coba ingat! terakhir kau menyimpannya dimana?” Goun menepuk halaman buku itu dengan telapak tangannya “terakhir kau bawa?” Goun diam, mungkin ia sedang berpikir. “aku baru saja menyingkirkannya dari sini, karena aku butuh tempat luas untuk tiduran sebagai penghilang stress” Min-ah bergumam sedang dalam nadanya itu tak ada sama sekali rasa penat, ia merasa sudah bebas “ok, baiklah mari ku bantu” Ia baru tersadar, kalau sahabatnya sedang tertimpa musibah

“aku ingat, sebelum ku taruh di sini. Aku pernah ke apartemen Hoya dengan membawa buku ini” Goun membuka mulutnya

“benarkah?” “coba ku tanyakan padanya?!”

“tidak, ku pikir dia tak tahu” ya benar, memang dia tak tahu karena malam itu Hoya pergi mencari Min-ah.

“lalu? Apa yang akan kita lakukan?” Min-ah baru saja akan menyalakan ponselnya

“bisakah kita...” Goun bergumam, Min-ah memencet tombol di layar ponselnya, mencari nama dengan huruf depan ‘H’ “mengendap – endap” Kring, sejurus kemudian nada dering ponsel sudah terhubung. Goun tak bisa berkata apa – apa. Ia berharap ‘semoga ia tak akan membuat masalah semakin panjang’. Ia takut kalau Min-ah akan benci padanya bila ia terus saja mengganggu Hoya.

“ya, Halo” jawab suara diseberang sana, Howon

“em, begini. Aku ingin berkunjung ke apartemenmu, untuk mencari benda yang tertinggal di sana. Boleh?”

“boleh, tapi maaf aku tak akan pulang untuk hari ini--”

“ya, aku tahu. Maaf karena sudah mengganggu”

“tunggu, maksudku. Kau boleh ke sana, kau bisa pinjam kunci cadangan”

“khamsamida Oppa” Min-ah tersenyum lebar. Seperti ia telah puas mendengar jawaban terakhir itu.

“Gimana?” tanya Goun masih khawatir, seakan wajah Min-ah masih belum mencerminkan jawabannya

“yap, ayo” tanpa jawaban detail, Min-ah menarik tangannya keluar dari apartemennya dan menuju pos penjaga. Entah kenapa ada sesuatu merasukinya, ia merasa bersemangat, walau pekerjaanya belum ia dapatkan.

“kau yakin?” tanya Goun tiba – tiba saat mereka sampai di pintu apartemen Hoya

“untuk apa?” Min-ah memutar kunci ke kanan

“lupakan” kata Goun dibarengi dengan suara decitan pintu yang dibuka.

Mereka masuk ke dalam, lampu menyala terang, lebih terang dari apartemennya sendiri.

“kau seperti belum pernah masuk saja?!” kata Goun yang masih berdiri di belakang pintu

“memang” Min-ah duduk kemudian mengamati ruangan itu lekat – lekat. “dimana?” tanya Min-ah menyadarkan Goun akan kepentingan sebelumnya.

“oh..ya, benar” Goun tersentak, kemudian beralih memusatkan perhatiannya pada setumpuk buku – buku yang ada di sebelah TV

“O,ya. Kenapa kau masuk ke sini sebelumnya? Ada perlu apa?” tanya Min-ah menyalakan TV

“hanya untuk berkunjung” Goun membuka tumpukan buku, dan mulai mencari

“oh” Min-ah mengeraskan volume TV saat di sana mulai diberitakan persiapan Infinite untuk segera tampil. Sebenarnya hanya tayangan ulang

“ah.... Hoya” seru Min-ah saat melihat sesosok pria yang mulai berjalan masuk dengan pakaian antik.

“Min-ah? Bisakah kau kecilkan sedikit volumenya?” Goun mulai terganggu dengan kebisingan yang menyeruak mengelilingi kepalanya

“apa?” tanya Min-ah mengecilkan volume TV agar dapat mendengar Goun

“tidak apa – apa, begitu lebih baik” Goun tersenyum samar

“ah..., chincha” Min-ah mendegus. Saat ia mulai melihat seorang wanita keluar lalu mengikuti Hoya. Mereka berdansa, menari selama irama itu masih mengalun, sepanjang pegangannya tak lepas. Click, Min-ah mematikan TV itu.

“ini lebih mending” Goun tersenyum sambil menoleh ke arah Min-ah yang sudah pasang wajah cemberut. “kenapa?”

“ah..., bukan apa – apa” Min-ah merosot turun, kini ia  terduduk di lantai. “sudah ketemu?”

“masih belum” Goun menggeleng. Min-ah lalu mendekat, ikut membantu mencari secarik kertas kuning yang tertinggal entah di mana. Mula – mula ia mencari di bawah meja, di kolong sofa, lalu di bawah karpet.

“kira – kira dimana? Biasanya benda kecil akan jatuh ke mana?” Min-ah bergumam, lagaknya seperti seorang detektif yang sedikit dongkol.

“kau sedang apa?” Goun terganggu dengan tingkah Min-ah yang mulai belagak serius. Min-ah berbaring diatas karpet, lalu memiringkan kepalannya, menyorotkan pandangan keseluruh ruangan dan

“itu, apa itu?” Min-ah berdiri lalu menghampiri kertas kuning yang terselip di bawah kaki meja

“benarkah?” Goun merampas selembar kertas itu

“warnanya kuning dan kertasnya selebar 5 cm. Itu kan?” Min-ah memastikan

“mungkin, ayo kita coba. Hanya untuk memastikan” ajak Goun sambil mengeluarkan merogoh saku jasnya.

“tidak bawa?” Goun menggeleng “Ayo pulang” Min-ah membuka pintu masuk lalu mereka keluar. Benar, Goun lupa tidak membawa ponselnya.


            “Kring –kring” bunyi ponsel Goun berdering. Ia memberikan kertas itu pada min-ah. Min-ah mengambil ponselnya dan menekan – nekan angka yang tertera di layar ponselnya.

“Telfon dari bos buat delay syuting” Goun menghempaskan tubuhnya di atas ranjang yang masih berantakan. Kepalanya terasa pening.

“di tunda?” ulang Min-ah sambil meletakkan benda yang ia bawa.

Goun mengangguk lemas tak berdaya, wajahnya yang masih terbilang cukup muda kini nampak sepuluh tahun lebih tua. Min-ah ikut berbaring, tapi separuh tubuhnya tak beralas menggelontar lemas. “setelah ini, kau mau apa?” tanya Goun tiba – tiba

“ah..” Min-ah kaget “aku...” Min-ah berpikir, tapi tak bisa karena beban kepala yang terbujur ke bawah membuatnya merasa pusing. “gak tau”

“benarkah?” Goun merasa jiwanya terbang meninggalkan tubuhnya, ia sendiri setengah sadar melontarkan kalimat itu. Benar, nasip Goun benar – benar menyedihkan setelah ini ia tak tahu harus bagaimana, ia merasa kehilangan pekerjaannya, tapi tidak. Itu hanya penundaan saja setelah berjuntai – juntai pekerjaan yang ia lakukan selama Min-ah sakit ia harus berjuang mengumulkan informasi sendirian dan kini, apa yang ia dapat. Mungkin waktu istirahat.

“bagaimana kalau kita piknik” Min-ah bangun dan menyentakkan bahu Goun agar ia segera sadar, agar ia tak mati sia – sia begitu saja.

“piknik apa?” tanyanya masih dengan mata terpejam

“mungkin, Hm hanya saran” Min-ah sedikit tertunduk, merasa bersalah karena baru saja ia menyadari berapa banyak uang yang telah Goun keluarkan apalagi ia sendiri belum gajian

“saran bagus,” pujinya. Ya, sekedar pujian. Min-ah memandang kesal pada Goun tapi melihat kedua lingkaran hitam yang menyerupai mata panda itu, ia tak tega melampiaskan kekesalannya.

TBC....................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar