ff Lee Ho Won
Chapter 10
“akhirnya kita pulang?” Wajahnya bahagia,
walau tampak masih pucat. Sejenak ia berhenti, ada sesuatu di sana yang menarik
perhatianya. Ia berjalan mendekati sebuah restoran Jepang.
“kau mau ramen?” gumam Goun pelan
“apa Howon tahu ini?” sebuah pamflet konser Infinite terpajang di dinding kaca restoran.
“entahlah” kata Goun sambil berlalu melewati
Min-ah yang masih berdiri di sana, “sudahlah, kau akan sembuh secepat mungkin”
tegasnya
“baiklah” Min-ah menyusul meski
sudah ditinggal jauh oleh Goun.
Sederet
cermin rias terpajang di dinding itu, empat buah kotak kosmetik sudah terbuka sedari
tadi. Seorang pria sudah duduk di salah satu kursi rias paling ujung, matanya
tak lepas mengawasi layar ponsel yang tak henti – hentinya menyala. Sekejap
raut wajahnya mulai berubah, MyungSoo segera berdiri. Bibirnya terus saja
bergumam seperti sedang mengucap mantra, tidak. Ia sedang membaca, mungkin itu
alasannya kedua alisnya bertemu sedang matanya semakin menyipit
Ia melangkah masuk ke sebuah ruang latihan
yang ternyata masih menyala terang. Kakinya yang mulai menginjak lantai itu,
bahkan dapat merasakan getaran dan alunan irama yang terasa, Howon.
“Oh.. kau rupanya” Howon berhenti
dan membalikkan badan. Sebenarnya tanpa membalikkan badan pun ia masih dapat
melihat MyungSoo dari cermin, tapi dengan rasa hormat sudah sepantasnya ia
melakukan itu. “ah..chincha. Jangan pasang wajah seperti itu” Howon menepukkan tangan
kananya ke dahi.
“lagi? Kau ada masalah apa?”
“masalah? ” pikirnya kemudian
menggeleng dengan raut wajah polos tak bersalah
“benarkah? Lalu bagaimana foto –
foto ini bisa diunggah?” Myungsoo meyodorkan ponselnya ke Howon
“aku tak tahu” Howon melihat
sekilas foto itu, kemudian meraihnya dan mencermati gambar yang terlihat di
layar ponsel Myungsoo “Tapi ini benar”. Howon tersenyum padanya, lalu menepuk –
nepuk bahunya berulang kali yang berarti ‘tenanglah semua akan baik’ begitu
maknanya melalui tatapan Howon.
“Hey” Myungsoo menoleh ke belakang
di mana Howon telah melewatinya tapi ia tetap berjalan sembari mengangkat lima
jari tangan kanannya ke atas.
Jam perlahan menunjuk pukul 7
malam, tak seperti biasanya seharusnya kini ia menelfon Min-ah menanyakan
kabarnya. Tapi bagaimanapun juga sesenggang apapun waktu luangnya tak akan ia
sia – siakan dengan percuma, ia merasa perlu menjaga jarak. Lalu apa yang akan
Howon lakukan sekarang? Setelah foto – fotonya tersebar? Foto – foto itu adalah
bukti dimana Howon sedang berkelahi, di supermarket dan foto saat Howon keluar
dari rumah sakit di mana Min-ah dirawat. Ia cemas, tapi jika gegabah sama saja
ia membuat Min-ah juga terancam.
“kau
sedang apa?” Goun menengadahkan tubuhnya di samping Min-ah yang sedang
tersandar di dinding sambil memegangi kameranya.
“um... kira – kira Howon lihat
tidak ya?” Gumamnya pelan
“liat apa?” Goun menyingkirkan buku
yang menempel dari wajahnya, berusaha melihat raut wajah Min-ah yang
terselubungi atmosfer cinta
“ini” tanpa pikir panjang Min-ah
langsung menyerahkan kameranya itu.
“ya Ampun!!” ucap Goun tak percaya
saat memencet tombol view. “OMG!!” teriaknya lagi, kali ini tubuhnya terlihat
mudah untuk bangun saat ia memencet tombol play
“Goun?” Min-ah memanggilnya, Goun
menoleh mengangkat kedua alisnya tajam “jangan bilang siapa - siapa” Min-ah
mengambil selimut di depannya lalu membungkus wajahnya yang memerah
“hahahaha” Goun tertawa kegelian.
Ia tak menyangka gadis kecil dihadapannya itu, kini sudah dewasa “ah, ini
wajar. Tak usah malu. Aku bercanda, aku tidak marah” Goun mencoba membuka
selimut itu, tapi Min-ah masih memegangnya erat – erat seakan bila dilepas
selimutnya, ia akan meleleh. “kau tahu? Dulu aku juga seperti itu”
“membuat film dari rangkaian foto?”
tanya Min-ah menyingkirkan selimut yang terasa panas sekarang
“bukan” jawab Goun pendek
“lalu?”
“lebih parah dari itu!” katanya
sambil menutup wajahnya “aku membuat sebuah cerita untukku dan dia” Goun masih
menutup wajahnya
“siapa?” Min-ah merasa belum jelas
siapa yang dimaksud ‘dia’ di ceritanya
“siapa lagi? Song!” Goun gantian
memasukkan tubuhnya dalam selapis kain tebal yang tak lain adalah selimutnya
“benarkah?” Min-ah acuh tak acuh
dengan pertanyaannya sendiri, ia tak peduli Goun menjawabnya atau tidak
“Hm, sekarang jangan bahas itu
lagi” Goun membenamkan suaranya di atas bantal
“bukankah kau dulu yang pertama
memulainya” Min-ah duduk bersila menoleh ke arah Goun yang mungkin sekarang
sedang terisak. Goun tetap diam di tempat meski Min-ah sudah berulang kali
keluar masuk kamar. Ia tak menyangka pembicaraan sekecil itu mampu menusuk
hatinya. “Goun?” tak ada jawaban hanya terdengar suara ingus, benarkah? Ia
benar sedang sedih. “oh... Goun, aku minta maaf” Goun mengangguk
“tolong” Goun menoleh kearah Min-ah
dengan mata yang sembab dan hidung yang beringus. Min-ah mendekatkan telinganya
di samping Goun, karena mulut Goun tertutup lengan tangannya sendiri, jadi tidak
terlalu jelas. “matikan lampu” ucap Goun pada akhirnya. Min-ah menyesal sebuah
uluran rasa kepedulian yang semula keluar karena rasa bersalah terhapus sudah karena
mulut Goun penuh dengan liur, Goun sedari tadi tidur!
****************************************************************************************************************
“Hey” Howon meletakkan ponselnya di
atas meja, namun matanya menatap kosong di luar sana
“apa? kenapa?” Howon sedikit
terganggu dengan sikap Myungsoo yang masih kesal padanya.
“setelah ini, aku ijin ke luar.
Jadi acara kita aku batalkan” Howon masih terpaku menatap lalu lintas dari atas
gedung itu
“terserah apa maumu” Myungsoo
mengeluarkan ponselnya. Bagi Howon hal seperti ini sudah biasa, ia tahu
bagaimana sikap Myungsoo yang kerap jengkel padanya karena wajar sebagai
sahabatnya Myungsoo berusaha selalu memberi nasihat baik.
“O.ya, sebelum aku pergi aku juga
ingin ambil cuti. Beberapa hari saja?!” Howon beralih bahagia. Ia berharap
sahabatnya itu memberikan saran terbaik untuknya
“memang kau pikir aku menejermu?”
Myungsoo melihat sekilas ke arah Howon, kemudian melanjutkan lagi dengan
kesibukannya memelototi layar ponselnya. “ah... jangan kau buat aku terlihat
jahat dengan senyummu itu” Myungsoo melepaskan sekotak kado dengan sampul pink
dan pita kuning.
“apa ini?”
“dari penggemarmu, mungkin.
Seseorangnya menaruhnya di mejaku, tapi kupikir itu untukmu”
“kenapa begitu?” tanya Howon dengan
menatap lekat – lekat sebungkus kotak itu. “kenapa kau pikir ini untukku? Di sini
tak ada tulisannya sama sekali, apalagi namaku” Howon penasaran dengan rencana
apa yang disembunyikan Myungsoo, ah.. kenapa?
“bukankah kau suka warna pink?”
Myungsoo tertawa
“dasar kau ini!” Howon memukul bahu
Myungsoo. Yang benar saja? Manamungkin Howon menyukai warna pink?!! Jelas
bukan!
Goun
mondar – mandir keluar masuk ke ruang tengah. Sepertinya ia sedang mencari
sesuatu.
“kau sedang cari apa?” tanya Min-ah
akhirnya setelah merasa terganggu dengan suara langkah kaki Goun yang
melenyapkan kesunyian yang sedang ia nikmati
“ah... bukan apa – apa. Hanyalah proyekku”
“oh... buku yang bertumpuk di
sini?” Min-ah menunjuk lantai kosong di sampingnya
“hm” Goun mengangguk keras. Seperti
perkiraanya, ia tidak salah lagi sebelumnya benar ia taruh di sana. “di mana
sekarang?” tanya Goun cepat lebih cepat dari siapapun, logat bicaranyapun
menjadi ke barat – baratan.
“oh.. kalau tidak salah aku taruh
di....” Min-ah mengingat – ingat sementara Goun mengepalkan kedua tangannya di
depan dada, berharap ia tak kehilangan barang berharganya itu. “di atas lemari
itu” akhirnya Goun dapat kembali bernafas
Setelah beberapa menit kemudian,
Goun terus saja membolak – balikkan halaman buku tebal itu sementara Min-ah
masih saja tiduran di sana, “ti...ti..tiDAK” Min-ah bangkit, ia terduduk kaget,
dilihatnya Goun masih tercengang menatap kosong halaman buku yang terbuka lebar
“kenapa?” ia melepas headset yang
sedari tadi terpasang di telingannya
“aku lupa menaruh nomor ponselnya!!”
Goun tertunduk lesu, air matanya sempat terjatuh membasahi buku itu
“siapa?” Min-ah mendekat berusaha
menghibur
“model yang baru – baru ini aku
pilih, bagaimana sekarang?”
“temui saja menejernya”
“manamungkin, dia masih baru dan
baru saja aku kontak bosku dia juga tidak menyimpan”
“kenapa bisa kau lupa? Bahkan kau
tidak langsung menyimpannya di ponselmu?” Goun semakin tertunduk “coba ingat!
terakhir kau menyimpannya dimana?” Goun menepuk halaman buku itu dengan telapak
tangannya “terakhir kau bawa?” Goun diam, mungkin ia sedang berpikir. “aku baru
saja menyingkirkannya dari sini, karena aku butuh tempat luas untuk tiduran
sebagai penghilang stress” Min-ah bergumam sedang dalam nadanya itu tak ada
sama sekali rasa penat, ia merasa sudah bebas “ok, baiklah mari ku bantu” Ia
baru tersadar, kalau sahabatnya sedang tertimpa musibah
“aku ingat, sebelum ku taruh di
sini. Aku pernah ke apartemen Hoya dengan membawa buku ini” Goun membuka
mulutnya
“benarkah?” “coba ku tanyakan
padanya?!”
“tidak, ku pikir dia tak tahu” ya
benar, memang dia tak tahu karena malam itu Hoya pergi mencari Min-ah.
“lalu? Apa yang akan kita lakukan?”
Min-ah baru saja akan menyalakan ponselnya
“bisakah kita...” Goun bergumam,
Min-ah memencet tombol di layar ponselnya, mencari nama dengan huruf depan ‘H’
“mengendap – endap” Kring, sejurus kemudian nada dering ponsel sudah terhubung.
Goun tak bisa berkata apa – apa. Ia berharap ‘semoga ia tak akan membuat
masalah semakin panjang’. Ia takut kalau Min-ah akan benci padanya bila ia
terus saja mengganggu Hoya.
“ya, Halo” jawab suara diseberang
sana, Howon
“em, begini. Aku ingin berkunjung
ke apartemenmu, untuk mencari benda yang tertinggal di sana. Boleh?”
“boleh, tapi maaf aku tak akan
pulang untuk hari ini--”
“ya, aku tahu. Maaf karena sudah
mengganggu”
“tunggu, maksudku. Kau boleh ke sana,
kau bisa pinjam kunci cadangan”
“khamsamida Oppa” Min-ah tersenyum
lebar. Seperti ia telah puas mendengar jawaban terakhir itu.
“Gimana?” tanya Goun masih
khawatir, seakan wajah Min-ah masih belum mencerminkan jawabannya
“yap, ayo” tanpa jawaban detail,
Min-ah menarik tangannya keluar dari apartemennya dan menuju pos penjaga. Entah
kenapa ada sesuatu merasukinya, ia merasa bersemangat, walau pekerjaanya belum
ia dapatkan.
“kau yakin?” tanya Goun tiba – tiba
saat mereka sampai di pintu apartemen Hoya
“untuk apa?” Min-ah memutar kunci
ke kanan
“lupakan” kata Goun dibarengi
dengan suara decitan pintu yang dibuka.
Mereka masuk ke dalam, lampu
menyala terang, lebih terang dari apartemennya sendiri.
“kau seperti belum pernah masuk
saja?!” kata Goun yang masih berdiri di belakang pintu
“memang” Min-ah duduk kemudian
mengamati ruangan itu lekat – lekat. “dimana?” tanya Min-ah menyadarkan
Goun akan kepentingan sebelumnya.
“oh..ya, benar” Goun tersentak,
kemudian beralih memusatkan perhatiannya pada setumpuk buku – buku yang ada di
sebelah TV
“O,ya. Kenapa kau masuk ke sini
sebelumnya? Ada perlu apa?” tanya Min-ah menyalakan TV
“hanya untuk berkunjung” Goun
membuka tumpukan buku, dan mulai mencari
“oh” Min-ah mengeraskan volume TV
saat di sana mulai diberitakan persiapan Infinite untuk segera tampil.
Sebenarnya hanya tayangan ulang
“ah.... Hoya” seru Min-ah saat
melihat sesosok pria yang mulai berjalan masuk dengan pakaian antik.
“Min-ah? Bisakah kau kecilkan
sedikit volumenya?” Goun mulai terganggu dengan kebisingan yang menyeruak
mengelilingi kepalanya
“apa?” tanya Min-ah mengecilkan
volume TV agar dapat mendengar Goun
“tidak apa – apa, begitu lebih
baik” Goun tersenyum samar
“ah..., chincha” Min-ah mendegus.
Saat ia mulai melihat seorang wanita keluar lalu mengikuti Hoya. Mereka
berdansa, menari selama irama itu masih mengalun, sepanjang pegangannya tak
lepas. Click, Min-ah mematikan TV itu.
“ini lebih mending” Goun tersenyum
sambil menoleh ke arah Min-ah yang sudah pasang wajah cemberut. “kenapa?”
“ah..., bukan apa – apa” Min-ah
merosot turun, kini ia terduduk di
lantai. “sudah ketemu?”
“masih belum” Goun menggeleng.
Min-ah lalu mendekat, ikut membantu mencari secarik kertas kuning yang
tertinggal entah di mana. Mula – mula ia mencari di bawah meja, di kolong sofa,
lalu di bawah karpet.
“kira – kira dimana? Biasanya benda
kecil akan jatuh ke mana?” Min-ah bergumam, lagaknya seperti seorang detektif
yang sedikit dongkol.
“kau sedang apa?” Goun terganggu
dengan tingkah Min-ah yang mulai belagak serius. Min-ah berbaring diatas
karpet, lalu memiringkan kepalannya, menyorotkan pandangan keseluruh ruangan
dan
“itu, apa itu?” Min-ah berdiri lalu
menghampiri kertas kuning yang terselip di bawah kaki meja
“benarkah?” Goun merampas selembar
kertas itu
“warnanya kuning dan kertasnya
selebar 5 cm. Itu kan?” Min-ah memastikan
“mungkin, ayo kita coba. Hanya
untuk memastikan” ajak Goun sambil mengeluarkan merogoh saku jasnya.
“tidak bawa?” Goun menggeleng “Ayo
pulang” Min-ah membuka pintu masuk lalu mereka keluar. Benar, Goun lupa tidak
membawa ponselnya.
“Kring
–kring” bunyi ponsel Goun berdering. Ia memberikan kertas itu pada min-ah.
Min-ah mengambil ponselnya dan menekan – nekan angka yang tertera di layar
ponselnya.
“Telfon dari bos buat delay
syuting” Goun menghempaskan tubuhnya di atas ranjang yang masih berantakan.
Kepalanya terasa pening.
“di tunda?” ulang Min-ah sambil
meletakkan benda yang ia bawa.
Goun mengangguk lemas tak berdaya,
wajahnya yang masih terbilang cukup muda kini nampak sepuluh tahun lebih tua.
Min-ah ikut berbaring, tapi separuh tubuhnya tak beralas menggelontar lemas. “setelah
ini, kau mau apa?” tanya Goun tiba – tiba
“ah..” Min-ah kaget “aku...” Min-ah
berpikir, tapi tak bisa karena beban kepala yang terbujur ke bawah membuatnya
merasa pusing. “gak tau”
“benarkah?” Goun merasa jiwanya
terbang meninggalkan tubuhnya, ia sendiri setengah sadar melontarkan kalimat
itu. Benar, nasip Goun benar – benar menyedihkan setelah ini ia tak tahu harus
bagaimana, ia merasa kehilangan pekerjaannya, tapi tidak. Itu hanya penundaan
saja setelah berjuntai – juntai pekerjaan yang ia lakukan selama Min-ah sakit
ia harus berjuang mengumulkan informasi sendirian dan kini, apa yang ia dapat.
Mungkin waktu istirahat.
“bagaimana kalau kita piknik”
Min-ah bangun dan menyentakkan bahu Goun agar ia segera sadar, agar ia tak mati
sia – sia begitu saja.
“piknik apa?” tanyanya masih dengan
mata terpejam
“mungkin, Hm hanya saran” Min-ah
sedikit tertunduk, merasa bersalah karena baru saja ia menyadari berapa banyak
uang yang telah Goun keluarkan apalagi ia sendiri belum gajian
“saran bagus,” pujinya. Ya, sekedar
pujian. Min-ah memandang kesal pada Goun tapi melihat kedua lingkaran hitam
yang menyerupai mata panda itu, ia tak tega melampiaskan kekesalannya.
TBC....................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar