Selasa, 02 Juli 2013

Camera Has Stories



ff Lee Ho Won

Chapter 12

      “Min-ah!!! bangun” Goun menggoyang – goyangkan bahu Min-ah yang masih tertidur

“kenapa?” tanyanya masih dengan posisi memeluk guling

“ada telfon dari bos, ini gimana? Gawat! Cepet bangun” Goun menarik tangan Min-ah. “filmnya jadi dipakek, trus nomernya kemarin di mana?”

“ha... kayaknya dah tak buang” matanya melek lebar, selebar mungkin.

“aduh...gimana donk”

“e....” Min-ah berpikir sejenak,

“Hoya! kita minta tolong aja sama dia. Filmnya cuma film pendek kok, paling durasi satu jam”

“satu jam?” Goun manggut – manggut “itu sama aja lama, tapi Hoya udah pindah, katanya sih dia pulang ke apartemennya yang super mewah” Min-ah manyun

“apartemen super mewah?” Goun balas bertanya, ia terheran – heran pada temannya sendiri yang sudah dianggap ‘gak waras’ “apartemen yang mana?” Min-ah mengangkat bahu “aku tadi habis belanja, mobilnya aja masih di depan”

“tapi kemarin--”

“kamu cuma diboongin, mau – maunya aja” Min-ah diam, ia terlihat kikuk “ayo cepat” Goun meminta Min-ah segera mandi dan mengantarnya menemui Howon

  

“Ada apa?” Howon membukakan pintu

“Hi” sapa Min-ah. Howon balas tersenyum ramah, lalu mempersilahkan kedua gadis itu masuk duluan.

“begini--” Goun menceritakan kejadian yang telah ia alami, berusaha meluluhkan hatinya sesekali ia menyebut nama Min-ah.

Mendengar namanya disebut – sebut membuat Min-ah padam nyali. Bahkan untuk menyelanya saja ia tak mampu.
“lalu?” tanya Howon mengambil kesimpulan

“bersediakah anda membintangi film saya?” Goun berbicara dalam bahasa yang formal. Itu terdengar. . . aneh. Goun menanti – nanti jawaban Howon, sedangkan ia sendiri menatap sekilas ke arah Min-ah yang nampak bengong.

“akan ku pertimbangkan” walaupun belum pasti iya, Goun senang bukan main. Ia menjabat tangan Howon erat – erat, di samping itu Min-ah memandangnya agak jijik.

“Gumawo oppa,” ucap Min-ah datar saat keduanya menatap Min-ah bersamaan.
Mereka akhirnya meninggalkan apartemen Howon yang nampak sepi itu. Min-ah merasa senang, tapi tak tahu harus bilang apa, tak tahu harus bersikap bagaimana.

“baguslah!!! Aja..aja..aja” seru Goun saat ia menuruni tangga. Mereka berpisah di sana, karena Goun harus bertemu dengan bosnya.

******************************************************************************************************************

Pagi harinya,

“Apa benar Hoya akan datang?” tanya Goun akhirnya saat di ruang itu nampak sunyi bahkan terlihat menakutkan karena tak ada satu pembicaraan pun diantara kru yang bertugas.

“pasti! Pasti datang “ tegas Min-ah. “kau sendiri yang mempercayakannya pada Hoya, dan aku tahu ia pasti menepati janjinya” kata Min-ah yakin “lagipula, ia akan datang membawa kameraku yang tertinggal itu”

“benarkah?” goda Goun. Min-ah hanya tersenyum lalu memanyunkan bibirnya balas menatap Goun.

“itu!!” Goun menunjuk mobil sedan hitam yang menuju parkiran depan

Howon mulai menapakkan kakinya memasuki gedung bertingkat empat itu dengan mengenakan topi merah dan berjaket abu – abu.

“akhirnya, kau menyelamatkan hidupku” puji Goun saat melihat Howon memasuki ruang kerjanya. Tapi pasti Howon tak mendengarnya, karena banyak sorakan menyabut kedatangan Howon.

“maaf sedikit terlambat,” Howon meminta maaf di depan kru yang ada di sana. Mereka memakluminya, karena jadwal Howon juga mungkin padat.


        Lokasi yang akan diambil memang tidak terlalu jauh dari Seoul. Di sebuah desa yang letaknya di perbukitan. Pepohonan yang rindang, angin yang terus menerus bertiup, dan suasana yang nyaman melengkapi keindahan dari sebuah film yang ditinjau dari lokasinya, apalagi pemainnya merupakan aktor terkenal.

“kau sedang apa?” tanya Howon tiba – tiba sudah berdiri di belakang Min-ah tepat di tenda sementara

“hm...hanya memastikan apakah kau benar sudah merawat kameraku atau tidak” jawab Min-ah seraya menekan tombol on.

“foto di museum juga masih ku simpan” Howon duduk disamping Min-ah yang berdiri di samping meja rias. “tunggu” sergah Howon saat Min-ah hendak menekan tombol ‘replay’

“kenapa?” Min-ah menekan tombol itu, dan dengan gesit Howon berhasil mendapatkan kameranya

“ada mantranya” kata Howon dengan menyipitkan matanya

“hiii...seram....” gurau Min-ah

“kau hanya boleh membukanya setelah ini” Min-ah memikirkan kata – kata Howon dengan serius “cepat – cepat...” perintah Howon cepat, membuyarkan lamunan Min-ah

“apanya?” tanya Min-ah

Howon mengehela nafasnya pelan “kau yang harus me-make up”

“hah.. memangnya aku penata rias?” tanya Min-ah setengah berteriak

“tentu, sebagai seorang kameramen seharusnya kau mampu melakukannya”

“hanya kali ini” Min-ah memperingatkan. Tanpa menjawab, Howon mengambil majalah yang berada di atas meja. Min-ah memanyunkan bibirnya lagi,

Semua tataan ia kerjakan, mulai dari memilihkan kostum, make-up, dan yang paling penting kesesuaian tokoh yang akan diperankan. Disini, tokoh yang akan diperankan Howon adalah seorang detektif, menangkap penjahat dan seperti adegan di film – film kebanyakan, film action.


        Persiapan pengambilan gambar sudah siap, semua kru berada di tempatnya masing – masing, tapi...

“Kenapa?” tanya Min-ah masih memegangi ponselnya

“lawan main Hoya tidak datang, gimana ini?” Goun masih berdiri di depannya

“pake pemeran pengganti? Seperti apa karakter fisiknya? ”

“em...tinggi, besar, dan berjenggot” kata Goun sambil mengingat – ingat

“jenggot bisa dipalsu, tinggi? Bisa pake heel yang tinggi, trus besar? Bisa pake sumpalan kain. Gampang kan?” Min-ah memberi saran

“wah... habis minum obat ya? Udah lebih segaran tuh..” ledek Goun melirik ke arah Howon yang sedang menghafal naskah. Min-ah tersenyum riang. “Trus? Siapa yang mau jadi pemeran penggantinya?”

“model lamamu!!” Min-ah berteriak girang, wajahnya dibuat cerah lagi ketika menemui nomor ponsel milik modelnya Goun

“siapa?”

“itu....itu” Min-ah kehabisan kata – kata

“itu siapa?”

“kertas kuning!” Min-ah mengacungkan jarinya, seperti telah berhasil menebak jawaban dari sebuah olimpiade matematika

“benarkah? Jadi selama ini kau lupa?” Goun menggoyang – goyangkan bahu Min-ah tak percaya

“hm” angguknya keras lalu tak lama setelah itu, Min-ah segera menghubungi. Awalnya si pengangkat menolak ikut shooting, tapi setelah dijelaskan untuk jadi tokoh utama antagonis ia mau. “mau! Dia mau” Goun memeluk sahabatnya itu erat




         Howon masih terlihat ragu, bola matanya termenung beberapa saat. Tapi melihat Min-ah yang nampak antusias, ia tak bermaksud menggagalkan shooting pertama temannya itu yang novelnya berhasil dirilis.

Min-ah sibuk mengambil tempat yang cocok untuk memotret adegan yang berlangsung, dan sebenarnya di sana Min-ah hanyalah teman sekaligus rekan untuk Goun, tidak berperan penting dalam pembuatan film sehingga cara kerjanya individu.

Adegan 1,2,3,4 dan hingga saat ini masih berjalan lancar. Howon benar – benar berharap yang ia duga itu salah. Tapi tidak, ia melihat sebuah tanda, tato di pergelangan tangannya.

“Min-ah kau sedang apa?” tanya Goun setelah sutradara berteriak ‘cut’.

“apalagi?! Hunting tempat” tanpa menatap Goun ia tetap terfokus pada dua pria yang berpose di depan

“itu terlalu berbahaya!” bentak Goun. Min-ah semakin dekat saja dengan tebing. Goun menganggap temannya itu jauh lebih ‘bodoh’ dari dirinya, ia tergila – gila dengan fotografi. Tapi haruskah begini? Membahayakan nyawanya sendiri?

“ACTION” ‘sekali lagi’, pikir Min-ah dalam hati karena adegan ini akan menjadi sejarah dimana Howon akan berhadapan langsung dengan lawan mainnya, ia merasa . . . tertantang

Howon berlari hingga berada 1 meter dari tebing, lebih dari itu, Min-ah telah berdiri 50cm tepat di pinggir. Howon terpojok, disaat itu Zark, nama penjahat yang menjadi lawan mainnya mulai berjalan mendekatinya. Zark mengeluarkan sebuah pistol dari tangan kanannya dan tepat menunjuk ke arah kepala Howon.

“Hoya, benar – benar aktor nomer satu” puji Goun lirih

“cool” ucap Min-ah lirih. Ia melihat penghayatan yang begitu besar dari raut wajah Howon, bahkan lebih hebat dari aktor tampan yang selama ini ia puja – puja, Lee Min Ho.

“menyerahlah kau!” bentak Zark melagkah maju. Tangannya siap menembakkan peluru tajam

“aku tak akan memaafkanmu” ucap Howon menghayati perannya

“benarkah?” Zark mengangkat kedua alisnya, mata piciknya membuat Howon semakin takut. Dengan ayunan pelan pistol itu terangkat setelah obrolan basa – basi layaknya pemeran sungguhan. Howon mengambil ancang – ancang bersiap berlari, lalu

“DOOOR”suara tembakan disuarakan dari monitor.

“CUT” sutradara memberi aba – aba. Howon menatap lega, tapi melihat tangan Zark yang satu ia bergegas berlari dan “DOOOR”

“Ho....ya” seketika ia seperti tertidur, ia tak bisa merasakan kakinya lagi, di sekelilingnya hanyalah sisingnya angin, dan di hadapannya terbentang langit luas. Tapi, langit itu terlihat menakutkan, langit itu menjauh darinya, dan semakin menjauh.




               Seperti sebuah mimpi buruk yang tak tahu akan benar terjadi. Min-ah terpeleset, ia jatuh dari atas tebing setidaknya kru sudah mempersiapkan karet balon untuk antisipasi kecelakaan. Di sisi lain, ia hanya sempat menatap pilu setelah sepercik darah mengenai pipinya, tak sempat menyelamatkannya, mimpi buruk yang tak pernah akan ia duga sebelumnya.

Lampu, dan bau obat sama seperti terakhir kali ia tinggalkan.

“kau sudah sadar” Goun memeluk tubuh gadis itu erat bahkan lebih erat dari biasanya.

“Hoya” bisiknya

“aku tahu kau akan sadar” Goun menitihkan air matanya cepat, suaranya yang serak membuat Min-ah tahu bahwa sedari tadi Goun terus menangis, menangis entah kenapa

“Hoya” Min-ah menyebut nama itu lagi, tapi tak ada jawaban dari Goun. Seperti Goun tak mengenal nama yang ia sebut. Min-ah melepas pelukan Goun, ia mencoba turun dari tempatnya terbaring, tapi Goun terus mencegahnya. Sekeras apa perjuangannya meski terus ditahan ia takkan menyerah.


            “Hoya” rintihnya ketika ia tahu banyak wartawan keluar dari sebuah kamar VIP di ujung sana. Ia berdiri di depan kamar itu, terbesit dalam hatinya untuk membiarkan daun pintu itu tertutup.

Lagi, perasaan yang kemarin ia rasakan belum mau hilang. Jantungnya terasa berhenti berdenyut sesaat lalu berdetak begitu cepat, mata sipitnya sesak menahan air yang terus saja ingin keluar. Ia melihat sekilas siapa yang terbaring di sana, Howon.

Wajahnya pucat pasi, mulutnya tertutup benda bening berselang, dan matanya masih terpejam.  
Min-ah terus saja memandangi pria yang terbaring lemah di sana, air matanya tak henti – hentinya berlinang. Terus menunggunya duduk di tempat itu selama lebih dari satu jam. Harapannya tak surut untuk terus memanjatkan doa.

Min-ah memegang tangannya, mendekatkan bibirnya di dekat telinga lalu mengucap mantra ajaib berharap setelah mengucap mantra itu Howon segera bangun.

“saranghaeyo” bisiknya pelan.

*******************************************************************************************************************

          
          Pukul 9 pagi, Min-ah masih duduk di kursi itu setelah 2 jam lamanya, walaupun ia bukan lagi berstatus pasien tapi seakan tak peduli dengan halangan yang ada, ia tetap bersikeras di dalam ruangan itu.

“kau masih mau disini?” tanya Goun prihatin, melihat dua orang yang sama – sama sakit di depan matanya, Min-ah dan Howon. Min-ah mengangguk diam. “sudah jam sembilan, kau tidak mau makan?” kata Goun seraya meletakkan sebuket bunga di atas meja. “kalau kau sakit, aku juga repot” keluh Goun berdiri di ambang pintu

“aku akan makan, setelah nanti siang pemeriksaan” melihat ekspresi Min-ah yang datar, Goun lalu berjalan cepat mendekati anak yang dongkol pikirannya itu

“kau bodoh apa gimana sih?” Goun heran, ia benar – benar tak tahu harus berbuat apa, sudah dari tadi malam Min-ah belum makan jadi wajar saja kalau ia sekhawatir itu pada Min-ah.

“maaf” kata Min-ah tulus tapi wajahnya tetap datar. Matanya terlihat bengkak, bibirnya kering, dan pipi tembamnya pucat masih saja menatap kosong di tangan Howon yang tergeletak diam, belum menunjukkan perubahan membaik, setelah mengalami pendarahan.

Goun menarik nafas pelan, menyadari bagaimana perasaan Min-ah sekarang “ayo makan, kalau Hoya dengar kamu gak makan, ia pasti sedih” bujuk Goun

“Justru itu, aku tak mau membuatnya sedih. Aku tak mau pergi sebelum pemeriksaannya nanti siang” jelas Min-ah menitihkan sebutir air matanya kemudian langsung menyekanya cepat

“apa kau mau terlihat lebih kurus ketika Hoya bangun nanti?” Goun masih tetap sabar membujuknya. “Hoya pasti akan malu temannya sendiri dibuat kurus karenanya,” Min-ah mulai menoleh ke arah Goun. Goun berfikir sepertinya kata – katanya kali ini manjur “benar, nanti juga pasti banyak wartawan kemari, kalau kau diliput, dan Hoya merasa minder dengan penampilanmu ini” Goun melihat Min-ah hanya menoleh, tak lebih dari itu. Min-ah kembali terdiam, mulutnya hampir terbuka merespon Goun tapi tidak jadi. Tanpa banyak peduli dengan bagaimana perasaan Min-ah Goun langsung menarik tangannya, belum juga ia berdiri. Goun terheran – heran dengan aksi mogok makan Min-ah yang masih kuat tenaganya untuk menolak ajakan Goun.

“tok...tok...tok...” pintu itu diketuk. Tirai yang setengah terbuka di jendela kaca memperlihatkan sosok yang ada di luar sana. “permisi” sapa gadis bertubuh langsing itu riang.

Min-ah berdiri dan Goun memberi hormat disusul Min-ah juga demikian. “Annyeong” sapa Goun dengan ramah tamah

Gadis cantik itu tersenyum ringan, “perkenalkan saya Jinhe, manajer Hoya” sapa gadis yang bernama Jinhe memperkenalkan dirinya. Mengetahui hal itu, Min-ah tersadar Howon seringkali tersenyum saat telfon dengan manajernya, mungkin dia, dan sering semobil dengannya.

“Kami teman Hoya, Goun dan Min-ah” Goun terkagum – kagum dengan cara Jinhe berbicara, jadi sedapat mungkin ia ingin terlihat anggun pula

“Permisi, saya keluar sebentar” Min-ah ijin keluar, caranya bicara terdengar lancar walaupun caranya berjalan terlihat aneh

“saya menyesal atas kejadian kemarin” Goun meminta maaf, meski hal itu bukan salahnya. Goun mendengar sesuatu dari balik pintu itu jatuh, lalu dengan segera “saya mohon maaf, tidak bisa menemani anda” Goun memberi hormat, mengucapkan ijin untuk ke luar dari kamar itu.
Pintu itu tertutup, rasanya terlihat sebuah pemandangan mengenaskan terlintas di benaknya, Min-ah. Ia merasa . . . cemburu.


“ke resto di depan saja” aju Min-ah, dan Goun yang tak tahu menahu dengan ucapannya itu langsung mengiyakannya saja. Goun masih menatap cemas pada gadis di depannya ini, ia terlihat loyo, barusan saja sepertinya ia jatuh.

            “jadi di sini?” tanya Goun baru menyadari tempat makan ini adalah khusus makanan kimchi.

“tenang, di sini juga ada masakan daging, tapi ala eropa” jelas Min-ah mulai memesan makanan. Ya begitulah, repotnya mempunyai teman yang tidak suka sayur

“Min-ah kau masih ingat dengan nomer itu?” tanya Goun hati – hati

“iya, kenapa?”

“setelah diselidiki polisi--” Goun baru saja akan meneruskan, tapi keduanya mulai menatap sekelompok orang yang tengah ramai berdebat, tepat di belakang mereka.

“Aku sudah bilang, jangan melakukan itu!” bentak seorang laki – laki yang jelas Min-ah dan Goun mengenalnya,

“eh..., kau meminta kita membantu, dan sudah ku lakukan” jawab seorang dari mereka

“tapi bukan begini!” orang itu mulai ngamuk, tapi bola matanya menunjukkan ketakutan

“kau sendiri yang menyuruh, kau harus berterimakasih pada kami, sudah geratis pula” seorang dari mereka mulai tertawa. Tawa yang membuat Min-ah benci

“Song?” bibirnya bergetar ketakutan, ia tak percaya. Tapi itu benar terjadi, dan gelas di depannya jatuh, gelas milik Min-ah. Untung saja mereka berdua tidak ketahuan berkat sebuah pot besar pembatas

“apa kau baik?” tanya Goun memastikan, dan Min-ah mengangguk.

“sekarang harus bagaimana?” kata Song tiba – tiba menangis, dua orang yang di depannya hanya membiarkan itu berlangsung, kemudian meneguk bir di depan mereka


            “jadi begitu?! Ini... benar – benar tidak masuk akal” Min-ah mulai terburu – buru berjalan setelah keluar dari restoran itu, setelah mencoba melabrak mereka tapi Goun mencegahnya

“Song, benar – benar tidak berubah” kata Goun sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya, seakan hawa di sana terasa panas

“apa yang kau maksud dengan nomor itu?” tanya Min-ah yang tiba – tiba berhenti berjalan

“oh...” Goun tersadar, ia memegang kedua tangan Min-ah dan mulai menuntunya untuk duduk di kursi taman di samping mereka.

“apa yang kau tahu? Apakah ini salahku?” air matanya mulai keluar,

“tenanglah” Goun berusaha meraih Min-ah, tapi Min-ah menjauh “sebenarnya, kata para polisi kemarin itu bukanlah nomor modelku, melainkan mungkin satu diantara mereka” Goun menelan ludah, “jadi, kemungkinan Song berskongkol lagi dengan para penjahat itu. Mungkin ia juga memiliki kertas kuning itu tapi dengan nomor--”

“milik mereka” potong Min-ah tiba – tiba geram

“benar,” Goun melirik sekilas teman di sebelahnya itu, “ingat tidak?” Min-ah menoleh, “waktu kita menelfon nomor itu? Bukankah awalnya ia tidak mau?” Goun memastikan

“iya, setelah ku beritahu, bahwa tidak usah khawatir dengan peran pengganti. Lalu ia menerima dengan peran utama sebagai antagonis?”

“benar, tapi sebelum itu kau sempat menceritakan bahwa lawan mainnya Hoya?”

“iya,” Min-ah tertunduk, “aku berkata begitu, agar ia mau bekerjasama,” Min-ah terisak, Goun mulai memeluknya “tapi maksudku agar ia termotivasi bila lawan mainnya seorang artis,”

“sudah, itu bukan salahmu” Goun mengusap – usap punggung Min-ah

Min-ah melepas pelukan Goun “juga, Hoya berusaha menolongku, tapi ia yang tertembak”

“tidak, itu tidak benar. Pelakunya saja yang sengaja menjebak” Goun ikut menangis. Kali ini mereka sama – sama menangis.

Dari depan pintu, Min-ah memandang mereka melalui jendela kaca. “aku tahu niatmu, tapi sungguh kau mengecewakan kami” ucap Jinhe lirih. Tepat saat itu juga, Min-ah masuk. “oh... maaf, aku hanya sebentar, sekarang aku harus pulang” katanya berpamitan. Lalu Min-ah mempersilahkan ia untuk keluar, memberi hormat dan pintu ditutup.

Min-ah mengambil tempat duduk di dekatnya, dan mulai menyalakan kameranya. “Hoya, ingat tidak? Hari pertama aku menggunakan kamera ini? Hari itu adalah saat perpisahanku, ya ini semua karena orang tuaku. Hal bodoh yang pertama kulakukan” Min-ah mulai tertawa kecil, seraya memegang telapak tangan Howon. “hari itu, dimana saat aku berada di taman kota, tempat pertama kita bertemu” Min-ah tersenyum, mengingat hari bersejarah baginya. “aku memotret bayanganku sendiri” Min-ah tertawa, tapi tiba – tiba sebuah getaran terasa di tangan kirinya, “Hoya?” panggilnya

Howon tersenyum “tahu alasannya,” tiba – tiba ia berkata begitu. Min-ah masih menunggu, “karena kau ingin terlihat tinggi” berusaha keras Howon mengatakannya, dan disambut dengan isakan Min-ah yang tiba – tiba air mata haru keluar membasahi pipinya.

“Hoya? Kau sudah bangun, sejak kapan?” tanya Min-ah yang masih menangis, namun berulang kali ia menyekat air matanya, itu tidak berhasil. Howon hanya tersenyum, lalu meminta menunjuk kamera yang masih menyala di tangan Min-ah, “kau mengijinkan aku melihatnya?” tanya Min-ah, kali ini senyumnya terlihat lebar. Howon mengangguk, “baik akan aku lakukan” Min-ah mulai memencet tombol yang bersimbol seperti mata anak panah, lalu memilih ikon berfolder foto

Dalam foto itu, ia melihat dirinya diam serius memandang sesuatu di bawahnya. Ia ingat betul foto itu diambil, diambil ketika di museum. Foto berikutnya juga sama, foto berikutnya lagi juga, hanya berbeda arah pengambilannya. Foto selanjutnya, adalah dua gadis yang tengah berjalan memasuki pintu masuk rumah hantu, Min-ah dan Goun. Yang terlihat hanya punggung kedua gadis itu saja, tapi berbeda dengan foto selanjutnya. Seorang perempuan yang berjalan mendekat dengan tawanya, sedang yang satu masih dengan kepanikan nyata, bukti bahwa Min-ah benar – benar ketakutan. Selanjutnya berbeda tempat, foto itu diambil ketika berada di lokasi shooting. Foto pertama, jatuh saat adegan Howon sedang naik mobil, kemudian keluar dan berlari mengejar seseorang. Selanjutnya foto yang tidak sengaja diambil Min-ah, yaitu foto hutan tapi di bawah sana ada sebuah mobil tidak dikenal, yang mungkin itu adalah mobil milik pelaku. Jemari Min-ah mulai bergetar, namun melihat Howon yang berada di sampingnya, membuatnya berani melanjutkan. Lagi, foto itu tepat saat Howon berhadapan dengan lawannya. Min-ah baru tersadar, foto itu seperti bukti. Adegannya berlanjut bercerita. Awalnya Howon menjauh dari kamera, lalu mendekat, kemudian hanya punggungnya yang terlihat, serta bercak darah yang membasahi punggung Howon. Kejadian itu seperti berputar di kepalanya, ia merasa penat, sekujur tubuhnya terasa beku, lalu dilihatnya tangan Howon. Ia menggenggamnya, tapi apa yang ia rasa? Tangannya mendingin, tangan Howon mendingin tiba – tiba “lanjutkan, mimpimu” katanya terbata.

Min-ah terpaku lemah di sana. Menyaksikan semua dokter berkerumunan masuk ke ruang itu.
“apa yang ku rasa?” Goun menoleh ke arahnya, “phobia? Aku masih sakit! Tanganku yang panas! dan aku tidak bisa meraba, aku tak tahu di mana denyut nadi di tanganku” Min-ah memegangi tangan kirinya, ujung jempol kanannya menekan – nekan di pergelangan kirinya lalu sebaliknya.

“tenanglah, ia pasti baik” Goun memegang kedua tangan Min-ah, memintanya untuk berhenti.

Sesaat setelah itu, beberapa dokter keluar dari ruangan itu, hanya tinggal dua dokter dan seorang perawat saja yang masih tinggal. Seorang dokter mulai menghampiri Min-ah yang masih terpaku di depan pintu. Dokter itu berbicara seolah – olah, ia lah yang membuatnya menangis, dokter itulah yang bersalah, membiarkan pasiennya diam tak bernafas di sana. Goun berusaha menenangkan Min-ah. Ia membiarkan Min-ah terjatuh di tempat, merasakan dunia telah hancur.

Seluruh ruangan itu terasa mati baginya, tak ada yang bergerak disana, namun ia tetap saja memandang Howon yang tergeletak di atas ranjang, saluran infus yang menggantung, sebuah mesin yang terus berkedib menunjukkan sinyal kematian, terus menyala merah. Lalu seorang petugas memindahkannya. Ia merasa juga telah mati, ia tak bisa mendengar apa – apa, Goun yang mulai duduk di depannya pun tak mampu ia lihat, hanya sesosok cahaya silau dari baju putihnya, kemudian ia merasa akan menyusul Howon.


                        “Min-ah, sepertinya kau perlu tahu ini” Goun menyibak selimut yang menutupi tubuh Min-ah. “lihat ini” Goun menancapkan kabel data ke komputernya, lalu sebuah folder video ia klik. Min-ah menatap video itu dengan seksama

“hm...., aku bosan” sapa pria berkacamamata yang memakai kaos polos putih. “sebenarnya, hari ini aku ingin....... menyatakan sesuatu” Howon terlihat menunduk, matanya tak berani melihat lensa kamera “saranghaeyo, Min-ah” ucap Howon sambil menarik tangan kirinya dari saku celana ke atas kepala hingga terbentuk simbol hati. Min-ah merasa seluruh tubuhnya lemas, rasanya dingin, dan pilu “sebenarnya, sejak awal aku melihatmu, di apartemen mewah” Howon tertawa, “aku melihatmu dari atas sana, lalu seminggu setelah itu kau masuk ke sana. Itu membuatku benar – benar ingin selalu berada di sana. Oya, gumawo untuk video yang kau buat itu, aku melihatnya. Kalau kata orang lain memalukan, menurutku......” Howon berhenti “itu lebih parah” ia tertawa “tapi aku suka” ucapnya tulus, “Em.. cukup sekian, sepertinya kau sudah datang...” lalu video itu berakhir tepat Howon mengambil gambar Min-ah dan Goun yang keluar dari rumah hantu.

“saranghaeyo, oppa” air matanya membasahi bajunya, 

“Min-ah, kau mau kemana?” Goun mengejar Min-ah yang keluar dari kamar mereka

“aku hanya bisa memandangnya dari sini,” air mata Goun keluar. Min-ah berdiri memandang taman kota dari pagar gedung bertingkat itu. “aku tak akan berhenti mencintai fotografi karena itu mimpiku, meski kenangan itu menyakitkan, tapi....” Min-ah mengusap air matanya “memendamnya jauh lebih menyakitkan”


..............................................................THE END....................................................................................    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar