ff Lee Ho Won
Chapter 12
“Min-ah!!! bangun” Goun menggoyang
– goyangkan bahu Min-ah yang masih tertidur
“kenapa?” tanyanya masih dengan
posisi memeluk guling
“ada telfon dari bos, ini gimana?
Gawat! Cepet bangun” Goun menarik tangan Min-ah. “filmnya jadi dipakek, trus
nomernya kemarin di mana?”
“ha... kayaknya dah tak buang”
matanya melek lebar, selebar mungkin.
“aduh...gimana donk”
“e....” Min-ah berpikir sejenak,
“Hoya! kita minta tolong aja sama
dia. Filmnya cuma film pendek kok, paling durasi satu jam”
“satu jam?” Goun manggut – manggut
“itu sama aja lama, tapi Hoya udah pindah, katanya sih dia pulang ke
apartemennya yang super mewah” Min-ah manyun
“apartemen super mewah?” Goun balas
bertanya, ia terheran – heran pada temannya sendiri yang sudah dianggap ‘gak
waras’ “apartemen yang mana?” Min-ah mengangkat bahu “aku tadi habis belanja,
mobilnya aja masih di depan”
“tapi kemarin--”
“kamu cuma diboongin, mau – maunya
aja” Min-ah diam, ia terlihat kikuk “ayo cepat” Goun meminta Min-ah segera
mandi dan mengantarnya menemui Howon
“Ada apa?” Howon membukakan pintu
“Hi” sapa Min-ah. Howon balas
tersenyum ramah, lalu mempersilahkan kedua gadis itu masuk duluan.
“begini--” Goun menceritakan
kejadian yang telah ia alami, berusaha meluluhkan hatinya sesekali ia menyebut
nama Min-ah.
Mendengar namanya disebut – sebut
membuat Min-ah padam nyali. Bahkan untuk menyelanya saja ia tak mampu.
“lalu?” tanya Howon mengambil
kesimpulan
“bersediakah anda membintangi film
saya?” Goun berbicara dalam bahasa yang formal. Itu terdengar. . . aneh. Goun
menanti – nanti jawaban Howon, sedangkan ia sendiri menatap sekilas ke arah
Min-ah yang nampak bengong.
“akan ku pertimbangkan” walaupun
belum pasti iya, Goun senang bukan main. Ia menjabat tangan Howon erat – erat,
di samping itu Min-ah memandangnya agak jijik.
“Gumawo oppa,” ucap Min-ah datar
saat keduanya menatap Min-ah bersamaan.
Mereka akhirnya meninggalkan
apartemen Howon yang nampak sepi itu. Min-ah merasa senang, tapi tak tahu harus
bilang apa, tak tahu harus bersikap bagaimana.
“baguslah!!! Aja..aja..aja” seru
Goun saat ia menuruni tangga. Mereka berpisah di sana, karena Goun harus
bertemu dengan bosnya.
******************************************************************************************************************
Pagi harinya,
“Apa benar Hoya akan datang?” tanya
Goun akhirnya saat di ruang itu nampak sunyi bahkan terlihat menakutkan karena
tak ada satu pembicaraan pun diantara kru yang bertugas.
“pasti! Pasti datang “ tegas
Min-ah. “kau sendiri yang mempercayakannya pada Hoya, dan aku tahu ia pasti
menepati janjinya” kata Min-ah yakin “lagipula, ia akan datang membawa kameraku
yang tertinggal itu”
“benarkah?” goda Goun. Min-ah hanya
tersenyum lalu memanyunkan bibirnya balas menatap Goun.
“itu!!” Goun menunjuk mobil sedan
hitam yang menuju parkiran depan
Howon mulai menapakkan kakinya
memasuki gedung bertingkat empat itu dengan mengenakan topi merah dan berjaket
abu – abu.
“akhirnya, kau menyelamatkan
hidupku” puji Goun saat melihat Howon memasuki ruang kerjanya. Tapi pasti Howon
tak mendengarnya, karena banyak sorakan menyabut kedatangan Howon.
“maaf sedikit terlambat,” Howon
meminta maaf di depan kru yang ada di sana. Mereka memakluminya, karena jadwal
Howon juga mungkin padat.
Lokasi yang akan diambil memang
tidak terlalu jauh dari Seoul. Di sebuah desa yang letaknya di perbukitan.
Pepohonan yang rindang, angin yang terus menerus bertiup, dan suasana yang
nyaman melengkapi keindahan dari sebuah film yang ditinjau dari lokasinya,
apalagi pemainnya merupakan aktor terkenal.
“kau sedang apa?” tanya Howon tiba
– tiba sudah berdiri di belakang Min-ah tepat di tenda sementara
“hm...hanya memastikan apakah kau
benar sudah merawat kameraku atau tidak” jawab Min-ah seraya menekan tombol on.
“foto di museum juga masih ku
simpan” Howon duduk disamping Min-ah yang berdiri di samping meja rias.
“tunggu” sergah Howon saat Min-ah hendak menekan tombol ‘replay’
“kenapa?” Min-ah menekan tombol
itu, dan dengan gesit Howon berhasil mendapatkan kameranya
“ada mantranya” kata Howon dengan
menyipitkan matanya
“hiii...seram....” gurau Min-ah
“kau hanya boleh membukanya setelah
ini” Min-ah memikirkan kata – kata Howon dengan serius “cepat – cepat...”
perintah Howon cepat, membuyarkan lamunan Min-ah
“apanya?” tanya Min-ah
Howon mengehela nafasnya pelan “kau
yang harus me-make up”
“hah.. memangnya aku penata rias?”
tanya Min-ah setengah berteriak
“tentu, sebagai seorang kameramen
seharusnya kau mampu melakukannya”
“hanya kali ini” Min-ah
memperingatkan. Tanpa menjawab, Howon mengambil majalah yang berada di atas
meja. Min-ah memanyunkan bibirnya lagi,
Semua tataan ia kerjakan, mulai
dari memilihkan kostum, make-up, dan yang paling penting kesesuaian tokoh yang
akan diperankan. Disini, tokoh yang akan diperankan Howon adalah seorang
detektif, menangkap penjahat dan seperti adegan di film – film kebanyakan, film
action.
Persiapan pengambilan gambar sudah
siap, semua kru berada di tempatnya masing – masing, tapi...
“Kenapa?” tanya Min-ah masih
memegangi ponselnya
“lawan main Hoya tidak datang,
gimana ini?” Goun masih berdiri di depannya
“pake pemeran pengganti? Seperti
apa karakter fisiknya? ”
“em...tinggi, besar, dan
berjenggot” kata Goun sambil mengingat – ingat
“jenggot bisa dipalsu, tinggi? Bisa
pake heel yang tinggi, trus besar? Bisa pake sumpalan kain. Gampang kan?”
Min-ah memberi saran
“wah... habis minum obat ya? Udah
lebih segaran tuh..” ledek Goun melirik ke arah Howon yang sedang menghafal
naskah. Min-ah tersenyum riang. “Trus? Siapa yang mau jadi pemeran
penggantinya?”
“model lamamu!!” Min-ah berteriak
girang, wajahnya dibuat cerah lagi ketika menemui nomor ponsel milik modelnya
Goun
“siapa?”
“itu....itu” Min-ah kehabisan kata
– kata
“itu siapa?”
“kertas kuning!” Min-ah
mengacungkan jarinya, seperti telah berhasil menebak jawaban dari sebuah
olimpiade matematika
“benarkah? Jadi selama ini kau
lupa?” Goun menggoyang – goyangkan bahu Min-ah tak percaya
“hm” angguknya keras lalu tak lama
setelah itu, Min-ah segera menghubungi. Awalnya si pengangkat menolak ikut
shooting, tapi setelah dijelaskan untuk jadi tokoh utama antagonis ia mau. “mau!
Dia mau” Goun memeluk sahabatnya itu erat
Howon masih terlihat ragu, bola
matanya termenung beberapa saat. Tapi melihat Min-ah yang nampak antusias, ia tak
bermaksud menggagalkan shooting pertama temannya itu yang novelnya berhasil
dirilis.
Min-ah sibuk mengambil tempat yang
cocok untuk memotret adegan yang berlangsung, dan sebenarnya di sana Min-ah
hanyalah teman sekaligus rekan untuk Goun, tidak berperan penting dalam
pembuatan film sehingga cara kerjanya individu.
Adegan 1,2,3,4 dan hingga saat ini
masih berjalan lancar. Howon benar – benar berharap yang ia duga itu salah.
Tapi tidak, ia melihat sebuah tanda, tato di pergelangan tangannya.
“Min-ah kau sedang apa?” tanya Goun
setelah sutradara berteriak ‘cut’.
“apalagi?! Hunting tempat” tanpa
menatap Goun ia tetap terfokus pada dua pria yang berpose di depan
“itu terlalu berbahaya!” bentak
Goun. Min-ah semakin dekat saja dengan tebing. Goun menganggap temannya itu
jauh lebih ‘bodoh’ dari dirinya, ia tergila – gila dengan fotografi. Tapi
haruskah begini? Membahayakan nyawanya sendiri?
“ACTION” ‘sekali lagi’, pikir
Min-ah dalam hati karena adegan ini akan menjadi sejarah dimana Howon akan
berhadapan langsung dengan lawan mainnya, ia merasa . . . tertantang
Howon berlari hingga berada 1 meter
dari tebing, lebih dari itu, Min-ah telah berdiri 50cm tepat di pinggir. Howon
terpojok, disaat itu Zark, nama penjahat yang menjadi lawan mainnya mulai
berjalan mendekatinya. Zark mengeluarkan sebuah pistol dari tangan kanannya dan
tepat menunjuk ke arah kepala Howon.
“Hoya, benar – benar aktor nomer
satu” puji Goun lirih
“cool” ucap Min-ah lirih. Ia
melihat penghayatan yang begitu besar dari raut wajah Howon, bahkan lebih hebat
dari aktor tampan yang selama ini ia puja – puja, Lee Min Ho.
“menyerahlah kau!” bentak Zark
melagkah maju. Tangannya siap menembakkan peluru tajam
“aku tak akan memaafkanmu” ucap
Howon menghayati perannya
“benarkah?” Zark mengangkat kedua
alisnya, mata piciknya membuat Howon semakin takut. Dengan ayunan pelan pistol
itu terangkat setelah obrolan basa – basi layaknya pemeran sungguhan. Howon
mengambil ancang – ancang bersiap berlari, lalu
“DOOOR”suara tembakan disuarakan
dari monitor.
“CUT” sutradara memberi aba – aba. Howon
menatap lega, tapi melihat tangan Zark yang satu ia bergegas berlari dan “DOOOR”
“Ho....ya” seketika ia seperti tertidur, ia tak bisa merasakan kakinya lagi, di sekelilingnya hanyalah sisingnya angin, dan di hadapannya terbentang langit luas. Tapi, langit itu terlihat menakutkan, langit itu menjauh darinya, dan semakin menjauh.
Seperti sebuah mimpi buruk yang tak
tahu akan benar terjadi. Min-ah terpeleset, ia jatuh dari atas tebing
setidaknya kru sudah mempersiapkan karet balon untuk antisipasi kecelakaan. Di
sisi lain, ia hanya sempat menatap pilu setelah sepercik darah mengenai
pipinya, tak sempat menyelamatkannya, mimpi buruk yang tak pernah akan ia duga
sebelumnya.
Lampu, dan bau obat sama seperti
terakhir kali ia tinggalkan.
“kau sudah sadar” Goun memeluk tubuh
gadis itu erat bahkan lebih erat dari biasanya.
“Hoya” bisiknya
“aku tahu kau akan sadar” Goun
menitihkan air matanya cepat, suaranya yang serak membuat Min-ah tahu bahwa
sedari tadi Goun terus menangis, menangis entah kenapa
“Hoya” Min-ah menyebut nama itu
lagi, tapi tak ada jawaban dari Goun. Seperti Goun tak mengenal nama yang ia
sebut. Min-ah melepas pelukan Goun, ia mencoba turun dari tempatnya terbaring,
tapi Goun terus mencegahnya. Sekeras apa perjuangannya meski terus ditahan ia
takkan menyerah.
“Hoya” rintihnya ketika ia tahu
banyak wartawan keluar dari sebuah kamar VIP di ujung sana. Ia berdiri di depan
kamar itu, terbesit dalam hatinya untuk membiarkan daun pintu itu tertutup.
Lagi, perasaan yang kemarin ia
rasakan belum mau hilang. Jantungnya terasa berhenti berdenyut sesaat lalu berdetak
begitu cepat, mata sipitnya sesak menahan air yang terus saja ingin keluar. Ia
melihat sekilas siapa yang terbaring di sana, Howon.
Wajahnya pucat pasi, mulutnya
tertutup benda bening berselang, dan matanya masih terpejam.
Min-ah terus saja memandangi pria
yang terbaring lemah di sana, air matanya tak henti – hentinya berlinang. Terus
menunggunya duduk di tempat itu selama lebih dari satu jam. Harapannya tak
surut untuk terus memanjatkan doa.
Min-ah memegang tangannya,
mendekatkan bibirnya di dekat telinga lalu mengucap mantra ajaib berharap
setelah mengucap mantra itu Howon segera bangun.
“saranghaeyo” bisiknya pelan.
*******************************************************************************************************************
Pukul 9 pagi, Min-ah masih duduk di
kursi itu setelah 2 jam lamanya, walaupun ia bukan lagi berstatus pasien tapi
seakan tak peduli dengan halangan yang ada, ia tetap bersikeras di dalam
ruangan itu.
“kau masih mau disini?” tanya Goun prihatin, melihat dua orang yang sama –
sama sakit di depan matanya, Min-ah dan Howon. Min-ah mengangguk diam. “sudah
jam sembilan, kau tidak mau makan?” kata Goun seraya meletakkan sebuket bunga
di atas meja. “kalau kau sakit, aku juga repot” keluh Goun berdiri di ambang
pintu
“aku akan makan, setelah nanti siang pemeriksaan” melihat ekspresi Min-ah
yang datar, Goun lalu berjalan cepat mendekati anak yang dongkol pikirannya itu
“kau bodoh apa gimana sih?” Goun heran, ia benar – benar tak tahu harus
berbuat apa, sudah dari tadi malam Min-ah belum makan jadi wajar saja kalau ia
sekhawatir itu pada Min-ah.
“maaf” kata Min-ah tulus tapi wajahnya tetap datar. Matanya terlihat
bengkak, bibirnya kering, dan pipi tembamnya pucat masih saja menatap kosong di
tangan Howon yang tergeletak diam, belum menunjukkan perubahan membaik, setelah mengalami pendarahan.
Goun menarik nafas pelan, menyadari bagaimana perasaan Min-ah sekarang
“ayo makan, kalau Hoya dengar kamu gak makan, ia pasti sedih” bujuk Goun
“Justru itu, aku tak mau membuatnya sedih. Aku tak mau pergi sebelum
pemeriksaannya nanti siang” jelas Min-ah menitihkan sebutir air matanya kemudian
langsung menyekanya cepat
“apa kau mau terlihat lebih kurus ketika Hoya bangun nanti?” Goun masih
tetap sabar membujuknya. “Hoya pasti akan malu temannya sendiri dibuat kurus
karenanya,” Min-ah mulai menoleh ke arah Goun. Goun berfikir sepertinya kata –
katanya kali ini manjur “benar, nanti juga pasti banyak wartawan kemari, kalau
kau diliput, dan Hoya merasa minder dengan penampilanmu ini” Goun melihat
Min-ah hanya menoleh, tak lebih dari itu. Min-ah kembali terdiam, mulutnya
hampir terbuka merespon Goun tapi tidak jadi. Tanpa banyak peduli dengan
bagaimana perasaan Min-ah Goun langsung menarik tangannya, belum juga ia
berdiri. Goun terheran – heran dengan aksi mogok makan Min-ah yang masih kuat
tenaganya untuk menolak ajakan Goun.
“tok...tok...tok...” pintu itu diketuk. Tirai yang setengah terbuka di
jendela kaca memperlihatkan sosok yang ada di luar sana. “permisi” sapa gadis
bertubuh langsing itu riang.
Min-ah berdiri dan Goun memberi hormat disusul Min-ah juga demikian.
“Annyeong” sapa Goun dengan ramah tamah
Gadis cantik itu tersenyum ringan, “perkenalkan saya Jinhe, manajer Hoya”
sapa gadis yang bernama Jinhe memperkenalkan dirinya. Mengetahui hal itu,
Min-ah tersadar Howon seringkali tersenyum saat telfon dengan manajernya,
mungkin dia, dan sering semobil dengannya.
“Kami teman Hoya, Goun dan Min-ah” Goun terkagum – kagum dengan cara Jinhe
berbicara, jadi sedapat mungkin ia ingin terlihat anggun pula
“Permisi, saya keluar sebentar” Min-ah ijin keluar, caranya bicara
terdengar lancar walaupun caranya berjalan terlihat aneh
“saya menyesal atas kejadian kemarin” Goun meminta maaf, meski hal itu
bukan salahnya. Goun mendengar sesuatu dari balik pintu itu jatuh, lalu dengan
segera “saya mohon maaf, tidak bisa menemani anda” Goun memberi hormat,
mengucapkan ijin untuk ke luar dari kamar itu.
Pintu itu tertutup, rasanya terlihat sebuah pemandangan mengenaskan
terlintas di benaknya, Min-ah. Ia merasa . . . cemburu.
“ke resto di depan saja” aju Min-ah, dan Goun yang tak tahu menahu dengan
ucapannya itu langsung mengiyakannya saja. Goun masih menatap cemas pada gadis
di depannya ini, ia terlihat loyo, barusan saja sepertinya ia jatuh.
“jadi di sini?” tanya Goun baru
menyadari tempat makan ini adalah khusus makanan kimchi.
“tenang, di sini
juga ada masakan daging, tapi ala eropa” jelas Min-ah mulai memesan makanan. Ya
begitulah, repotnya mempunyai teman yang tidak suka sayur
“Min-ah kau masih
ingat dengan nomer itu?” tanya Goun hati – hati
“iya, kenapa?”
“setelah diselidiki polisi--”
Goun baru saja akan meneruskan, tapi keduanya mulai menatap sekelompok orang
yang tengah ramai berdebat, tepat di belakang mereka.
“Aku sudah bilang,
jangan melakukan itu!” bentak seorang laki – laki yang jelas Min-ah dan Goun
mengenalnya,
“eh..., kau meminta
kita membantu, dan sudah ku lakukan” jawab seorang dari mereka
“tapi bukan begini!”
orang itu mulai ngamuk, tapi bola matanya menunjukkan ketakutan
“kau sendiri yang
menyuruh, kau harus berterimakasih pada kami, sudah geratis pula” seorang dari
mereka mulai tertawa. Tawa yang membuat Min-ah benci
“Song?” bibirnya
bergetar ketakutan, ia tak percaya. Tapi itu benar terjadi, dan gelas di
depannya jatuh, gelas milik Min-ah. Untung saja mereka berdua tidak ketahuan
berkat sebuah pot besar pembatas
“apa kau baik?”
tanya Goun memastikan, dan Min-ah mengangguk.
“sekarang harus
bagaimana?” kata Song tiba – tiba menangis, dua orang yang di depannya hanya
membiarkan itu berlangsung, kemudian meneguk bir di depan mereka
“jadi begitu?! Ini... benar – benar
tidak masuk akal” Min-ah mulai terburu – buru berjalan setelah keluar dari
restoran itu, setelah mencoba melabrak mereka tapi Goun mencegahnya
“Song, benar – benar
tidak berubah” kata Goun sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya, seakan
hawa di sana terasa panas
“apa yang kau maksud
dengan nomor itu?” tanya Min-ah yang tiba – tiba berhenti berjalan
“oh...” Goun
tersadar, ia memegang kedua tangan Min-ah dan mulai menuntunya untuk duduk di
kursi taman di samping mereka.
“apa yang kau tahu?
Apakah ini salahku?” air matanya mulai keluar,
“tenanglah” Goun
berusaha meraih Min-ah, tapi Min-ah menjauh “sebenarnya, kata para polisi
kemarin itu bukanlah nomor modelku, melainkan mungkin satu diantara mereka”
Goun menelan ludah, “jadi, kemungkinan Song berskongkol lagi dengan para
penjahat itu. Mungkin ia juga memiliki kertas kuning itu tapi dengan nomor--”
“milik mereka”
potong Min-ah tiba – tiba geram
“benar,” Goun
melirik sekilas teman di sebelahnya itu, “ingat tidak?” Min-ah menoleh, “waktu
kita menelfon nomor itu? Bukankah awalnya ia tidak mau?” Goun memastikan
“iya, setelah ku
beritahu, bahwa tidak usah khawatir dengan peran pengganti. Lalu ia menerima
dengan peran utama sebagai antagonis?”
“benar, tapi sebelum
itu kau sempat menceritakan bahwa lawan mainnya Hoya?”
“iya,” Min-ah
tertunduk, “aku berkata begitu, agar ia mau bekerjasama,” Min-ah terisak, Goun
mulai memeluknya “tapi maksudku agar ia termotivasi bila lawan mainnya seorang artis,”
“sudah, itu bukan
salahmu” Goun mengusap – usap punggung Min-ah
Min-ah melepas
pelukan Goun “juga, Hoya berusaha menolongku, tapi ia yang tertembak”
“tidak, itu tidak
benar. Pelakunya saja yang sengaja menjebak” Goun ikut menangis. Kali ini
mereka sama – sama menangis.
Dari depan pintu, Min-ah memandang mereka melalui jendela kaca. “aku tahu niatmu,
tapi sungguh kau mengecewakan kami” ucap Jinhe lirih. Tepat saat itu juga,
Min-ah masuk. “oh... maaf, aku hanya sebentar, sekarang aku harus pulang”
katanya berpamitan. Lalu Min-ah mempersilahkan ia untuk keluar, memberi hormat
dan pintu ditutup.
Min-ah mengambil
tempat duduk di dekatnya, dan mulai menyalakan kameranya. “Hoya, ingat tidak?
Hari pertama aku menggunakan kamera ini? Hari itu adalah saat perpisahanku, ya
ini semua karena orang tuaku. Hal bodoh yang pertama kulakukan” Min-ah mulai
tertawa kecil, seraya memegang telapak tangan Howon. “hari itu, dimana saat aku
berada di taman kota, tempat pertama kita bertemu” Min-ah tersenyum, mengingat
hari bersejarah baginya. “aku memotret bayanganku sendiri” Min-ah tertawa, tapi
tiba – tiba sebuah getaran terasa di tangan kirinya, “Hoya?” panggilnya
Howon tersenyum
“tahu alasannya,” tiba – tiba ia berkata begitu. Min-ah masih menunggu, “karena
kau ingin terlihat tinggi” berusaha keras Howon mengatakannya, dan disambut
dengan isakan Min-ah yang tiba – tiba air mata haru keluar membasahi pipinya.
“Hoya? Kau sudah
bangun, sejak kapan?” tanya Min-ah yang masih menangis, namun berulang kali ia
menyekat air matanya, itu tidak berhasil. Howon hanya tersenyum, lalu meminta
menunjuk kamera yang masih menyala di tangan Min-ah, “kau mengijinkan aku
melihatnya?” tanya Min-ah, kali ini senyumnya terlihat lebar. Howon mengangguk,
“baik akan aku lakukan” Min-ah mulai memencet tombol yang bersimbol seperti
mata anak panah, lalu memilih ikon berfolder foto
Dalam foto itu, ia
melihat dirinya diam serius memandang sesuatu di bawahnya. Ia ingat betul foto
itu diambil, diambil ketika di museum. Foto berikutnya juga sama, foto
berikutnya lagi juga, hanya berbeda arah pengambilannya. Foto selanjutnya,
adalah dua gadis yang tengah berjalan memasuki pintu masuk rumah hantu, Min-ah
dan Goun. Yang terlihat hanya punggung kedua gadis itu saja, tapi berbeda
dengan foto selanjutnya. Seorang perempuan yang berjalan mendekat dengan
tawanya, sedang yang satu masih dengan kepanikan nyata, bukti bahwa Min-ah
benar – benar ketakutan. Selanjutnya berbeda tempat, foto itu diambil ketika
berada di lokasi shooting. Foto pertama, jatuh saat adegan Howon sedang naik
mobil, kemudian keluar dan berlari mengejar seseorang. Selanjutnya foto yang
tidak sengaja diambil Min-ah, yaitu foto hutan tapi di bawah sana ada sebuah
mobil tidak dikenal, yang mungkin itu adalah mobil milik pelaku. Jemari Min-ah
mulai bergetar, namun melihat Howon yang berada di sampingnya, membuatnya
berani melanjutkan. Lagi, foto itu tepat saat Howon berhadapan dengan lawannya.
Min-ah baru tersadar, foto itu seperti bukti. Adegannya berlanjut bercerita.
Awalnya Howon menjauh dari kamera, lalu mendekat, kemudian hanya punggungnya
yang terlihat, serta bercak darah yang membasahi punggung Howon. Kejadian itu seperti berputar di kepalanya, ia merasa penat, sekujur tubuhnya terasa beku, lalu dilihatnya tangan Howon. Ia menggenggamnya, tapi
apa yang ia rasa? Tangannya mendingin, tangan Howon mendingin tiba – tiba “lanjutkan,
mimpimu” katanya terbata.
Min-ah terpaku lemah
di sana. Menyaksikan semua dokter berkerumunan masuk ke ruang itu.
“apa yang ku rasa?”
Goun menoleh ke arahnya, “phobia? Aku masih sakit! Tanganku yang panas! dan aku
tidak bisa meraba, aku tak tahu di mana denyut nadi di tanganku” Min-ah
memegangi tangan kirinya, ujung jempol kanannya menekan – nekan di pergelangan
kirinya lalu sebaliknya.
“tenanglah, ia pasti
baik” Goun memegang kedua tangan Min-ah, memintanya untuk berhenti.
Sesaat setelah itu,
beberapa dokter keluar dari ruangan itu, hanya tinggal dua dokter dan seorang
perawat saja yang masih tinggal. Seorang dokter mulai menghampiri Min-ah yang
masih terpaku di depan pintu. Dokter itu berbicara seolah – olah, ia lah yang
membuatnya menangis, dokter itulah yang bersalah, membiarkan pasiennya diam tak
bernafas di sana. Goun berusaha menenangkan Min-ah. Ia membiarkan Min-ah
terjatuh di tempat, merasakan dunia telah hancur.
Seluruh ruangan itu
terasa mati baginya, tak ada yang bergerak disana, namun ia tetap saja
memandang Howon yang tergeletak di atas ranjang, saluran infus yang
menggantung, sebuah mesin yang terus berkedib menunjukkan sinyal kematian,
terus menyala merah. Lalu seorang petugas memindahkannya. Ia merasa juga telah
mati, ia tak bisa mendengar apa – apa, Goun yang mulai duduk di depannya pun
tak mampu ia lihat, hanya sesosok cahaya silau dari baju putihnya, kemudian ia
merasa akan menyusul Howon.
“Min-ah, sepertinya kau
perlu tahu ini” Goun menyibak selimut yang menutupi tubuh Min-ah. “lihat ini”
Goun menancapkan kabel data ke komputernya, lalu sebuah folder video ia klik.
Min-ah menatap video itu dengan seksama
“hm...., aku bosan”
sapa pria berkacamamata yang memakai kaos polos putih. “sebenarnya, hari ini
aku ingin....... menyatakan sesuatu” Howon terlihat menunduk, matanya tak
berani melihat lensa kamera “saranghaeyo, Min-ah” ucap Howon sambil menarik
tangan kirinya dari saku celana ke atas kepala hingga terbentuk simbol hati.
Min-ah merasa seluruh tubuhnya lemas, rasanya dingin, dan pilu “sebenarnya,
sejak awal aku melihatmu, di apartemen mewah” Howon tertawa, “aku melihatmu
dari atas sana, lalu seminggu setelah itu kau masuk ke sana. Itu membuatku
benar – benar ingin selalu berada di sana. Oya, gumawo untuk video yang kau
buat itu, aku melihatnya. Kalau kata orang lain memalukan, menurutku......”
Howon berhenti “itu lebih parah” ia tertawa “tapi aku suka” ucapnya tulus, “Em..
cukup sekian, sepertinya kau sudah datang...” lalu video itu berakhir tepat
Howon mengambil gambar Min-ah dan Goun yang keluar dari rumah hantu.
“saranghaeyo, oppa”
air matanya membasahi bajunya,
“Min-ah, kau mau
kemana?” Goun mengejar Min-ah yang keluar dari kamar mereka
“aku hanya bisa
memandangnya dari sini,” air mata Goun keluar. Min-ah berdiri memandang taman
kota dari pagar gedung bertingkat itu. “aku tak akan berhenti mencintai
fotografi karena itu mimpiku, meski kenangan itu menyakitkan, tapi....” Min-ah
mengusap air matanya “memendamnya jauh lebih menyakitkan”
..............................................................THE END....................................................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar