Minggu, 30 Juni 2013

Camera Has Stories



ff Lee Ho Won

Chapter 10

         “akhirnya kita pulang?” Wajahnya bahagia, walau tampak masih pucat. Sejenak ia berhenti, ada sesuatu di sana yang menarik perhatianya. Ia berjalan mendekati sebuah restoran Jepang.

“kau mau ramen?” gumam Goun pelan



“apa Howon tahu ini?” sebuah pamflet konser Infinite terpajang di dinding kaca restoran. 

“entahlah” kata Goun sambil berlalu melewati Min-ah yang masih berdiri di sana, “sudahlah, kau akan sembuh secepat mungkin” tegasnya

“baiklah” Min-ah menyusul meski sudah ditinggal jauh oleh Goun.


           Sederet cermin rias terpajang di dinding itu, empat buah kotak kosmetik sudah terbuka sedari tadi. Seorang pria sudah duduk di salah satu kursi rias paling ujung, matanya tak lepas mengawasi layar ponsel yang tak henti – hentinya menyala. Sekejap raut wajahnya mulai berubah, MyungSoo segera berdiri. Bibirnya terus saja bergumam seperti sedang mengucap mantra, tidak. Ia sedang membaca, mungkin itu alasannya kedua alisnya bertemu sedang matanya semakin menyipit
                                                                                               
Ia melangkah masuk ke sebuah ruang latihan yang ternyata masih menyala terang. Kakinya yang mulai menginjak lantai itu, bahkan dapat merasakan getaran dan alunan irama yang terasa, Howon.

“Oh.. kau rupanya” Howon berhenti dan membalikkan badan. Sebenarnya tanpa membalikkan badan pun ia masih dapat melihat MyungSoo dari cermin, tapi dengan rasa hormat sudah sepantasnya ia melakukan itu. “ah..chincha. Jangan pasang wajah seperti itu” Howon menepukkan tangan kananya ke dahi.

“lagi? Kau ada masalah apa?”

“masalah? ” pikirnya kemudian menggeleng dengan raut wajah polos tak bersalah

“benarkah? Lalu bagaimana foto – foto ini bisa diunggah?” Myungsoo meyodorkan ponselnya ke Howon

“aku tak tahu” Howon melihat sekilas foto itu, kemudian meraihnya dan mencermati gambar yang terlihat di layar ponsel Myungsoo “Tapi ini benar”. Howon tersenyum padanya, lalu menepuk – nepuk bahunya berulang kali yang berarti ‘tenanglah semua akan baik’ begitu maknanya melalui tatapan Howon.

“Hey” Myungsoo menoleh ke belakang di mana Howon telah melewatinya tapi ia tetap berjalan sembari mengangkat lima jari tangan kanannya ke atas.

          
Jam perlahan menunjuk pukul 7 malam, tak seperti biasanya seharusnya kini ia menelfon Min-ah menanyakan kabarnya. Tapi bagaimanapun juga sesenggang apapun waktu luangnya tak akan ia sia – siakan dengan percuma, ia merasa perlu menjaga jarak. Lalu apa yang akan Howon lakukan sekarang? Setelah foto – fotonya tersebar? Foto – foto itu adalah bukti dimana Howon sedang berkelahi, di supermarket dan foto saat Howon keluar dari rumah sakit di mana Min-ah dirawat. Ia cemas, tapi jika gegabah sama saja ia membuat Min-ah juga terancam.



            “kau sedang apa?” Goun menengadahkan tubuhnya di samping Min-ah yang sedang tersandar di dinding sambil memegangi kameranya.

“um... kira – kira Howon lihat tidak ya?” Gumamnya pelan

“liat apa?” Goun menyingkirkan buku yang menempel dari wajahnya, berusaha melihat raut wajah Min-ah yang terselubungi atmosfer cinta

“ini” tanpa pikir panjang Min-ah langsung menyerahkan kameranya itu.

“ya Ampun!!” ucap Goun tak percaya saat memencet tombol view. “OMG!!” teriaknya lagi, kali ini tubuhnya terlihat mudah untuk bangun saat ia memencet tombol play

“Goun?” Min-ah memanggilnya, Goun menoleh mengangkat kedua alisnya tajam “jangan bilang siapa - siapa” Min-ah mengambil selimut di depannya lalu membungkus wajahnya yang memerah

“hahahaha” Goun tertawa kegelian. Ia tak menyangka gadis kecil dihadapannya itu, kini sudah dewasa “ah, ini wajar. Tak usah malu. Aku bercanda, aku tidak marah” Goun mencoba membuka selimut itu, tapi Min-ah masih memegangnya erat – erat seakan bila dilepas selimutnya, ia akan meleleh. “kau tahu? Dulu aku juga seperti itu”

“membuat film dari rangkaian foto?” tanya Min-ah menyingkirkan selimut yang terasa panas sekarang

“bukan” jawab Goun pendek

“lalu?”

“lebih parah dari itu!” katanya sambil menutup wajahnya “aku membuat sebuah cerita untukku dan dia” Goun masih menutup wajahnya

“siapa?” Min-ah merasa belum jelas siapa yang dimaksud ‘dia’ di ceritanya

“siapa lagi? Song!” Goun gantian memasukkan tubuhnya dalam selapis kain tebal yang tak lain adalah selimutnya

“benarkah?” Min-ah acuh tak acuh dengan pertanyaannya sendiri, ia tak peduli Goun menjawabnya atau tidak

“Hm, sekarang jangan bahas itu lagi” Goun membenamkan suaranya di atas bantal

“bukankah kau dulu yang pertama memulainya” Min-ah duduk bersila menoleh ke arah Goun yang mungkin sekarang sedang terisak. Goun tetap diam di tempat meski Min-ah sudah berulang kali keluar masuk kamar. Ia tak menyangka pembicaraan sekecil itu mampu menusuk hatinya. “Goun?” tak ada jawaban hanya terdengar suara ingus, benarkah? Ia benar sedang sedih. “oh... Goun, aku minta maaf” Goun mengangguk

“tolong” Goun menoleh kearah Min-ah dengan mata yang sembab dan hidung yang beringus. Min-ah mendekatkan telinganya di samping Goun, karena mulut Goun tertutup lengan tangannya sendiri, jadi tidak terlalu jelas. “matikan lampu” ucap Goun pada akhirnya. Min-ah menyesal sebuah uluran rasa kepedulian yang semula keluar karena rasa bersalah terhapus sudah karena mulut Goun penuh dengan liur, Goun sedari tadi tidur!
****************************************************************************************************************

“Hey” Howon meletakkan ponselnya di atas meja, namun matanya menatap kosong di luar sana

“apa? kenapa?” Howon sedikit terganggu dengan sikap Myungsoo yang masih kesal padanya.

“setelah ini, aku ijin ke luar. Jadi acara kita aku batalkan” Howon masih terpaku menatap lalu lintas dari atas gedung itu

“terserah apa maumu” Myungsoo mengeluarkan ponselnya. Bagi Howon hal seperti ini sudah biasa, ia tahu bagaimana sikap Myungsoo yang kerap jengkel padanya karena wajar sebagai sahabatnya Myungsoo berusaha selalu memberi nasihat baik.

“O.ya, sebelum aku pergi aku juga ingin ambil cuti. Beberapa hari saja?!” Howon beralih bahagia. Ia berharap sahabatnya itu memberikan saran terbaik untuknya

“memang kau pikir aku menejermu?” Myungsoo melihat sekilas ke arah Howon, kemudian melanjutkan lagi dengan kesibukannya memelototi layar ponselnya. “ah... jangan kau buat aku terlihat jahat dengan senyummu itu” Myungsoo melepaskan sekotak kado dengan sampul pink dan pita kuning.

“apa ini?”

“dari penggemarmu, mungkin. Seseorangnya menaruhnya di mejaku, tapi kupikir itu untukmu”

“kenapa begitu?” tanya Howon dengan menatap lekat – lekat sebungkus kotak itu. “kenapa kau pikir ini untukku? Di sini tak ada tulisannya sama sekali, apalagi namaku” Howon penasaran dengan rencana apa yang disembunyikan Myungsoo, ah.. kenapa?

“bukankah kau suka warna pink?” Myungsoo tertawa

“dasar kau ini!” Howon memukul bahu Myungsoo. Yang benar saja? Manamungkin Howon menyukai warna pink?!! Jelas bukan!

 

            Goun mondar – mandir keluar masuk ke ruang tengah. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu.

“kau sedang cari apa?” tanya Min-ah akhirnya setelah merasa terganggu dengan suara langkah kaki Goun yang melenyapkan kesunyian yang sedang ia nikmati

“ah... bukan apa – apa. Hanyalah proyekku”

“oh... buku yang bertumpuk di sini?” Min-ah menunjuk lantai kosong di sampingnya

“hm” Goun mengangguk keras. Seperti perkiraanya, ia tidak salah lagi sebelumnya benar ia taruh di sana. “di mana sekarang?” tanya Goun cepat lebih cepat dari siapapun, logat bicaranyapun menjadi ke barat – baratan.

“oh.. kalau tidak salah aku taruh di....” Min-ah mengingat – ingat sementara Goun mengepalkan kedua tangannya di depan dada, berharap ia tak kehilangan barang berharganya itu. “di atas lemari itu” akhirnya Goun dapat kembali bernafas

Setelah beberapa menit kemudian, Goun terus saja membolak – balikkan halaman buku tebal itu sementara Min-ah masih saja tiduran di sana, “ti...ti..tiDAK” Min-ah bangkit, ia terduduk kaget, dilihatnya Goun masih tercengang menatap kosong halaman buku yang terbuka lebar

“kenapa?” ia melepas headset yang sedari tadi terpasang di telingannya

“aku lupa menaruh nomor ponselnya!!” Goun tertunduk lesu, air matanya sempat terjatuh membasahi buku itu

“siapa?” Min-ah mendekat berusaha menghibur

“model yang baru – baru ini aku pilih, bagaimana sekarang?”

“temui saja menejernya”

“manamungkin, dia masih baru dan baru saja aku kontak bosku dia juga tidak menyimpan”

“kenapa bisa kau lupa? Bahkan kau tidak langsung menyimpannya di ponselmu?” Goun semakin tertunduk “coba ingat! terakhir kau menyimpannya dimana?” Goun menepuk halaman buku itu dengan telapak tangannya “terakhir kau bawa?” Goun diam, mungkin ia sedang berpikir. “aku baru saja menyingkirkannya dari sini, karena aku butuh tempat luas untuk tiduran sebagai penghilang stress” Min-ah bergumam sedang dalam nadanya itu tak ada sama sekali rasa penat, ia merasa sudah bebas “ok, baiklah mari ku bantu” Ia baru tersadar, kalau sahabatnya sedang tertimpa musibah

“aku ingat, sebelum ku taruh di sini. Aku pernah ke apartemen Hoya dengan membawa buku ini” Goun membuka mulutnya

“benarkah?” “coba ku tanyakan padanya?!”

“tidak, ku pikir dia tak tahu” ya benar, memang dia tak tahu karena malam itu Hoya pergi mencari Min-ah.

“lalu? Apa yang akan kita lakukan?” Min-ah baru saja akan menyalakan ponselnya

“bisakah kita...” Goun bergumam, Min-ah memencet tombol di layar ponselnya, mencari nama dengan huruf depan ‘H’ “mengendap – endap” Kring, sejurus kemudian nada dering ponsel sudah terhubung. Goun tak bisa berkata apa – apa. Ia berharap ‘semoga ia tak akan membuat masalah semakin panjang’. Ia takut kalau Min-ah akan benci padanya bila ia terus saja mengganggu Hoya.

“ya, Halo” jawab suara diseberang sana, Howon

“em, begini. Aku ingin berkunjung ke apartemenmu, untuk mencari benda yang tertinggal di sana. Boleh?”

“boleh, tapi maaf aku tak akan pulang untuk hari ini--”

“ya, aku tahu. Maaf karena sudah mengganggu”

“tunggu, maksudku. Kau boleh ke sana, kau bisa pinjam kunci cadangan”

“khamsamida Oppa” Min-ah tersenyum lebar. Seperti ia telah puas mendengar jawaban terakhir itu.

“Gimana?” tanya Goun masih khawatir, seakan wajah Min-ah masih belum mencerminkan jawabannya

“yap, ayo” tanpa jawaban detail, Min-ah menarik tangannya keluar dari apartemennya dan menuju pos penjaga. Entah kenapa ada sesuatu merasukinya, ia merasa bersemangat, walau pekerjaanya belum ia dapatkan.

“kau yakin?” tanya Goun tiba – tiba saat mereka sampai di pintu apartemen Hoya

“untuk apa?” Min-ah memutar kunci ke kanan

“lupakan” kata Goun dibarengi dengan suara decitan pintu yang dibuka.

Mereka masuk ke dalam, lampu menyala terang, lebih terang dari apartemennya sendiri.

“kau seperti belum pernah masuk saja?!” kata Goun yang masih berdiri di belakang pintu

“memang” Min-ah duduk kemudian mengamati ruangan itu lekat – lekat. “dimana?” tanya Min-ah menyadarkan Goun akan kepentingan sebelumnya.

“oh..ya, benar” Goun tersentak, kemudian beralih memusatkan perhatiannya pada setumpuk buku – buku yang ada di sebelah TV

“O,ya. Kenapa kau masuk ke sini sebelumnya? Ada perlu apa?” tanya Min-ah menyalakan TV

“hanya untuk berkunjung” Goun membuka tumpukan buku, dan mulai mencari

“oh” Min-ah mengeraskan volume TV saat di sana mulai diberitakan persiapan Infinite untuk segera tampil. Sebenarnya hanya tayangan ulang

“ah.... Hoya” seru Min-ah saat melihat sesosok pria yang mulai berjalan masuk dengan pakaian antik.

“Min-ah? Bisakah kau kecilkan sedikit volumenya?” Goun mulai terganggu dengan kebisingan yang menyeruak mengelilingi kepalanya

“apa?” tanya Min-ah mengecilkan volume TV agar dapat mendengar Goun

“tidak apa – apa, begitu lebih baik” Goun tersenyum samar

“ah..., chincha” Min-ah mendegus. Saat ia mulai melihat seorang wanita keluar lalu mengikuti Hoya. Mereka berdansa, menari selama irama itu masih mengalun, sepanjang pegangannya tak lepas. Click, Min-ah mematikan TV itu.

“ini lebih mending” Goun tersenyum sambil menoleh ke arah Min-ah yang sudah pasang wajah cemberut. “kenapa?”

“ah..., bukan apa – apa” Min-ah merosot turun, kini ia  terduduk di lantai. “sudah ketemu?”

“masih belum” Goun menggeleng. Min-ah lalu mendekat, ikut membantu mencari secarik kertas kuning yang tertinggal entah di mana. Mula – mula ia mencari di bawah meja, di kolong sofa, lalu di bawah karpet.

“kira – kira dimana? Biasanya benda kecil akan jatuh ke mana?” Min-ah bergumam, lagaknya seperti seorang detektif yang sedikit dongkol.

“kau sedang apa?” Goun terganggu dengan tingkah Min-ah yang mulai belagak serius. Min-ah berbaring diatas karpet, lalu memiringkan kepalannya, menyorotkan pandangan keseluruh ruangan dan

“itu, apa itu?” Min-ah berdiri lalu menghampiri kertas kuning yang terselip di bawah kaki meja

“benarkah?” Goun merampas selembar kertas itu

“warnanya kuning dan kertasnya selebar 5 cm. Itu kan?” Min-ah memastikan

“mungkin, ayo kita coba. Hanya untuk memastikan” ajak Goun sambil mengeluarkan merogoh saku jasnya.

“tidak bawa?” Goun menggeleng “Ayo pulang” Min-ah membuka pintu masuk lalu mereka keluar. Benar, Goun lupa tidak membawa ponselnya.


            “Kring –kring” bunyi ponsel Goun berdering. Ia memberikan kertas itu pada min-ah. Min-ah mengambil ponselnya dan menekan – nekan angka yang tertera di layar ponselnya.

“Telfon dari bos buat delay syuting” Goun menghempaskan tubuhnya di atas ranjang yang masih berantakan. Kepalanya terasa pening.

“di tunda?” ulang Min-ah sambil meletakkan benda yang ia bawa.

Goun mengangguk lemas tak berdaya, wajahnya yang masih terbilang cukup muda kini nampak sepuluh tahun lebih tua. Min-ah ikut berbaring, tapi separuh tubuhnya tak beralas menggelontar lemas. “setelah ini, kau mau apa?” tanya Goun tiba – tiba

“ah..” Min-ah kaget “aku...” Min-ah berpikir, tapi tak bisa karena beban kepala yang terbujur ke bawah membuatnya merasa pusing. “gak tau”

“benarkah?” Goun merasa jiwanya terbang meninggalkan tubuhnya, ia sendiri setengah sadar melontarkan kalimat itu. Benar, nasip Goun benar – benar menyedihkan setelah ini ia tak tahu harus bagaimana, ia merasa kehilangan pekerjaannya, tapi tidak. Itu hanya penundaan saja setelah berjuntai – juntai pekerjaan yang ia lakukan selama Min-ah sakit ia harus berjuang mengumulkan informasi sendirian dan kini, apa yang ia dapat. Mungkin waktu istirahat.

“bagaimana kalau kita piknik” Min-ah bangun dan menyentakkan bahu Goun agar ia segera sadar, agar ia tak mati sia – sia begitu saja.

“piknik apa?” tanyanya masih dengan mata terpejam

“mungkin, Hm hanya saran” Min-ah sedikit tertunduk, merasa bersalah karena baru saja ia menyadari berapa banyak uang yang telah Goun keluarkan apalagi ia sendiri belum gajian

“saran bagus,” pujinya. Ya, sekedar pujian. Min-ah memandang kesal pada Goun tapi melihat kedua lingkaran hitam yang menyerupai mata panda itu, ia tak tega melampiaskan kekesalannya.

TBC....................................

Sabtu, 29 Juni 2013

Camera Has Stories

ff Lee Ho Won

Chapter 9



Howon merenungkan kata – kata Min-ah hingga tak sadar dirinya telah sampai di apartemen. Howon membuka pintu apartemen, lalu di lihatnya Song duduk di Sofa panjang.

“Song?!” panggil Howon, tapi jelas – jelas Song telah duduk di depannya. “apa kau sudah tahu masalah ini sebelumnya?”

“iya,” Song mengangguk. Ia berpikir Howon sedang membicarakan masalah Min-ah yang entah kenapa ada di rumah sakit.

“kenapa sekarang pun kau masih berbohong?” Howon melepaskan headset yang dipakai Song

“apa? kenapa?” Song memandangnya dengan penuh tanda tanya. ‘ada apa sebenarnya?’ pikirnya saat melihat wajah Howon yang terlihat lelah

“sebelumnya, kau pernah membuka kamera milik Min-ah bukan?”

“ya, dan isinya kau tahu?” Song tertawa sejenak kemudian tawanya mulai memudar

“jadi benar?” Howon berharap Song segera menjelaskan, tapi dilihatnya ia masih belum paham. “kau masih berkomplotan dengan mereka?” mata Song terbelalak lebar

“iya,” nada bicaranya mulai memanik

“haruskah kau mengambil kameranya? Untuk apa?” Howon merasa kecewa, ia pergi berlalu dari hadapan Song yang masih diam setelah beberapa saat tak ada jawaban darinya

“apa?!” Howon berhenti di tempat, Song berdiri dan berkata “Jadi kau pikir aku penguntip? pemabuk? Lalu apa lagi sekarang seorang perampok begitu?” Howon masih diam, ia tak menyangka Song berkata begitu, “jangan bilang hanya karena kau mau mengijinkanku menumpang di sini, kau bisa berkata begitu padaku” Song melewati Howon ketika Howon hendak berbalik menghampirinya, lalu pergi begitu saja.

Howon memejamkan matanya dan berusaha kembali tenang. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan lagi, ia tak habis pikir kalau benar Song melakukan hal yang senaif itu hanya untuk mempermainkan Min-ah. Ia juga tak menyangka ia akan bereaksi seperti itu, ia benar – benar bingung untuk saat ini. Howon kemudian meraih ponsel yang tergeletak di samping ranjangnya, ia lupa untuk sehari penuh membawa ponselnya, bagaimana bisa? Usianya baru 23 tahun, kenapa bisa begitu. Saat membuka tobol on, ia mendapati sebuah pesan dari Song lalu membukanya

“sebenarnya aku ingin memberitahumu lebih awal tapi aku lupa. Aku membawanya setelah ku temukan di dekat taman, mungkin gadismu lupa” Howon kembali mencermati kata – kata itu berulang – ulang, jadi Song bukanlah orangnya, dia tidak bersalah. Howon menghampiri lemari kecil yang berada di ruang depan dekat TV lalu membukanya dan ia dapati sebuah kamera milik Min-ah. ‘lalu siapa? Apa motifnya?’ Howon bertanya – tanya dalam hati.

*******************************************************************************************************************
        Saat pintu itu dibuka, bau obat – obatan keluar menyerbak ke seluruh penjuru. Goun sejenak ragu, namun ia berusaha menarik ujung bibirnya ke atas sehingga tercipta sebuah senyumanya untuk Min-ah, kalau dipikir ketimbang dirinya Min-ah lah yang jauh menderita.

“Hai” sapa Goun menghampiri kursi duduk pengunjung di samping ranjang Min-ah

“apa itu?” Min-ah bangun, menyandarkan tubuhnya ke belakang, menumpu punggungnya dengan setumpuk bantal

“bisa kau lihat, bukan?” Goun menarik ujung tasnya itu, dan terlihat sebungkus makanan telah berhasil diseludupkan

“wah..., tidak sia – sia aku menyuruhmu” puji Min-ah dengan senyum kebebasannya
Goun menempelkan jari telunjuknya di depan mulut seraya berbisik “ssttt... kalau mereka tahu, aku bisa dimarahi” Min-ah mengangguk – angguk mengerti, lalu menoleh kiri dan kanan layaknya seorang detektif was – was pada penjagaan. Min-ah benar – benar sudah bosan dengan makanan tawar di rumah sakit ini, jadi Goun bersedia mengelurkan pundi – pundi kekayaannya untuk membeli makanan pesanan Min-ah yang tak tanggung – tanggung di pesan dengan harga di atas makanan normal yang biasa dibeli Goun sendiri, itulah salah satu alasan mengapa Goun juga ikut menderita. Min-ah makan dengan lahap makanannya yang berbau daging pedas itu, tak tanggung sesekali ia memasukkan dua potong daging ke dalam mulutnya sekaligus, hingga membuat Goun nyaris hilang kendali, kalau bukan karena Min-ah sakit ia masih dapat menahan tubuhnya mengamuk sejadi – jadinya di hadapan Min-ah. Hingga pada akhirnya, Goun menyalakan remot kontrol TV. Tepat saat itu juga, Min-ah ikut melihat suatu iklan konser grup band ‘infinite’ yang akan dilaksanakan besok lusa. “upps” ucap Goun pelan kemudian ia segera memindah canel TV. Dilihatnya lagi wajah Min-ah yang masih melongo kemudian segera menghabiskan kembali makanan seludupannya.

“Tok tok tok...” suara pintu diketuk, seorang perawat mengantar sarapan pagi Min-ah, sedang Min-ah bergegas mengemasi kotak makan paginya itu kemudian disembunyikan di bawah kaki penyangga kasur. Selang beberapa saat Goun mengambil sarapan pagi Min-ah sambil berkata

“makanan seperti ini yang kau bilang makanan neraka?” ucap Goun setelah mencicipinya sesendok makan

“ya, kau kan hanya sekali ini. Bayangkan kalau setiap hari!” bantah Min-ah dengan kesal

“ok. Tapi lumayan” kata Goun tidak jelas karena mulutnya penuh dengan bubur tawar yang bahkan Goun sendiri doyan, mungkin karena lapar, ya....lapar

“menurutmu, apa Hoya marah padaku?” Min-ah memandang ponselnya sejenak kemudian melemparkan wajah polosnya kepada Goun yang kini tersedak

“kenapa? Apa alasannya?” Goun menghampiri ranjang tinggi Min-ah kemudian duduk di sebelahnya

“apa menurutmu, aku tidak terlalu kejam?” Min-ah menatap Goun dengan rasa ingin tahu

“kau kejam? Tentu saja, lihat berapa biaya yang telah ku keluarkan hanya untukmu? untuk makanmu sehari saja lebih dari gajiku selama 3 hari, ditambah pengurangan waktuku tidur, nonton TV, kerja dan parahnya aku jadi boros bensin cuma buat pulang pergi ke rumah sakit” Goun tertawa tak sadar dirinya terlalu emosi. Min-ah memandangnya dengan rasa bersalah sekaligus rasa jengkel. “maaf, bukan begitu maksudku” ucapnya tulus. “hey, kalau kau masih berfikir kejam pada Hoya?! Kau salah, itu hanya masalah waktu saja” Goun memegang tangan Min-ah berharap Min-ah mengerti perkataannya. Saat itu juga seseorang membuka pintu kamar,

“Hoya” gumam Min-ah saat mengenali siapa pria bertopi di depan pintu

“maaf mengganggu,” ucap Howon menyipitkan matanya. Mengetahui hal itu Goun langsung mendapat membaca rangsangan negatif dari Howon, dari caranya melihat mereka

“Hey,” Goun melempar tangan Min-ah, ia tersentak lalu kembali duduk di kursi tamu “ah... aku masih waras” ucap Goun acuh tak acuh sambil membalikkan badannya untuk menonton TV

“Hi, Hoya” sapa Min-ah

“oh...Hi, apa kabarmu?” Howon meletakkan sekranjang buah di meja kecil yang terletak di sebelah ranjang Min-ah

“baik,” Min-ah tersenyum. Senyumnya seperti lama tak ia jumpai, Howon merasa tenang. Tapi, sejujurnya ia tahu ada suatu hal yang masih belum diceritakan Min-ah. Itukah alasan Howon datang kemari?

“em...aku perlu bicara sebentar denganmu” Howon tidak benar bermaksud mengusir Goun

“ok, aku akan keluar” Goun mengangkat kedua tangannya ke atas yang satu diantaranya masih memegang remot

“maaf, Goun. Bisakah kau belikan yang tadi?!” Min-ah memiringkan kepalanya, agar ia dapat melihat Goun yang sedang berjalan menuju pintu depan

“iya” kata Goun datar seraya menutup pintu itu. “masih perlu apa lagi putri?” Goun kembali membuka pintu

“apa ya.....” Min-ah sedang berpikir, ia juga tidak mau merepotkan Goun terlalu lama. Ia pikir Goun sudah cukup menderita jadi mungkin ia akan meminta sesuatu untuk persediaan hari ini, agar malamnya Goun tidak usah terbangun untuknya.

“ah,, tidak usah. Biar aku saja nanti yang belikan” potong Howon tidak merubah reaksi gadis blasteran itu. Aneh? Kenapa? Entahah...

Goun menutup pintu itu kembali, dirasanya Goun sudah benar – benar pergi. Kini tinggal ia dan Howon saja yang ada di dalam.

“pesanan apa?” tanya Howon tiba – tiba

“bukan apa- apa” Min-ah menutup matanya membayangkan betapa ia merindukan pesanannya untuk segera diantar “rahasia” bisik Min-ah dengan meletakkan tangan kirinya di depan wajah sambil memelankan suaranya “jangan sampai ada yang tahu. Di-la-ra-ng” 

“kau tidak benar ingin bir kan?” tanya Howon, kali ini suaranya terdengar mengancam

“sudah ku bilang, aku tak mau meminum yang seperti itu”

“lalu?”

“ice cream” jawabnya dengan senyum kepuasan. “lalu kau mau apa kesini? Seharusnya kau kan ada di kantor?!”

“ada apa dengan malam itu?” Min-ah langsung paham kemana arah pembicaraan itu beralih
Min-ah benar – benar tidak tahu harus memulainya dari mana, ia masih mencobam“jadi,” Min-ah mulai membuka mulutnya, Howon masih menunggu. “entahlah, apakah perlu kau tahu hal ini? Ku pikir kau ini siapa? Dan ku rasa ini tak ada hubungannya denganmu” Min-ah masih terus menatap kosong setumpuk buah yang ada di sampingnya

“aku? Aku ini sahabatmu” entah kenapa Howon merasa marah, mungkin karena Min-ah benar tidak mau menjawab alasannya secara detail

“lagi pula kemarin aku sudah cerita, dan sekarang tak perlu ada yang dibicarakan lagi tentang hal itu” Min-ah menekan kuku jempol kirinya dengan jari telunjuk dan ibu jari kanan

“kemarin kau hanya bilang bahwa kau dikeroyok tiga orang di bar, itu saja?” nada bicara Howon mulai meninggi. “apa itu dak ada hubungannya denganku? Kau belum menceritakan apa alasan mereka”

“sama” jawab Min-ah datar. “sama” ulangnya sekali lagi.
Howon termenung diam ia seakan kembali ke masa lalu tempat di mana dulu mereka merayakan acara kampus ke sebuah bar dengan teman – temannya. Suara musik yang begitu keras, tempat yang gelap meski dengan lampu warna – warni menyala terang sedang di sebuah sudut ruangan, mereka berdua duduk di satu meja.

“Min-ah apa yang sedang kau lakukan” salah seorang teman menghapiri meja mereka

“hanya mengotak – atik ” jawab Min-ah berteriak pula, kedua tangannya memegang kamera. Howon hanya menatap hal itu wajar saja karena Min-ah mencintai fotografi sejak pertama masuk kuliah

“Kau masih mau duduk diam di sini?” tanya Min-ah pada Howon setelah beberapa menit waktu mereka habiskan untuk duduk saja.

“lalu harus bagaimana?” tanya Howon dengan sebuah senyuman membujuk

“baiklah, kau boleh melakukannya. Itu yang kau mau, aku tunggu di sini” kata Min-ah memperbolehkan Howon pergi.

Sesaat setelah itu, Howon mulai beraksi. Gerakannya lihai bagai penari profesional, Min-ah sendiri terkagum – kagum melihatnya. Ia bahkan berjalan ke depan agar bisa melihatnya lebih jelas, juga tak lupa ia menyodorkan kameranya untuk mengambil gambar Howon. Beberapa kilatan cahaya dari kameranya mulai menyerbak, Howon masih menari, musik masih mengalun tapi entah dari mana datang pula segerombolan orang menghampiri Min-ah. Ia tak tahu apa alasan mereka mendatanginya, ia hanya membiarkan itu terjadi, ia pikir mereka mendekat untuk ikut melihat Howon menari. Howon berhenti, musik seketika mati Min-ah berusaha meloloskan diri dari kepungan orang – orang itu, mereka berjumlah sekitar 5 orang atau bahkan lebih. Min-ah merasa pergelangan tangannya patah, tapi ia coba untuk keluar meski tanpa kameranya, dan berhasil. Ia menjauh, ia berusaha menyingkir menyelamatkan diri. Ia tak tahu harus berbuat apa, ia sendiri ketakutan. “apa kau baik?” tanya Howon ragu. Min-ah hanya diam dan terus diam di sepanjang perjalanan pulang. ia sendiri pulang duluan dengan Sung-He,

“Apa kau yakin masih mau jalan pulang ke rumah?” tanya Sung-He khawatir. Min-ah mengangguk menahan air matanya turun membasahi tangan Sung-He, karena Sung-He memegangi bahu Min-ah menuntunnya berjalan. Dari jauh Howon memerhatikan mereka, ia yang sedang memakai mobil cadillac berjalan pelan di belakang mereka.

Saat Howon melihat salah satu diantara segrombolan orang yang ada di bar itu ia segera memberhentikan mobilnya, tepat di seberang jalan. Min-ah dan Sung-He yang ikut mendengar perkelahian, mereka juga ikut menoleh ke belekang, dilihatnya Howon yang tengah berjalan mendatangi mereka dengan membawa kamera milik Min-ah yang mungkin sudah dapat dibilang tak utuh karena tak ada lensa, hanya sebuah lubang kosong tak berlensa, sementara pelaku itu berlari menyelamatkan diri.

“Hoya?! HOYA!!” panggil Min-ah berkali – kali.

“nhe” Howon menoleh menatap gadis berseragam biru panjang yang kian nampak pucat

“apa kau ada masalah?” tanya Min-ah hati – hati, Howon menggeleng. Min-ah menunjuk jam beker yang baru saja tadi pagi dibawakan Goun. Howon masih tak mengerti. “apa kau sedang melamu? Seorang suster datang kemari, memintaku untuk beristirahat” jelas Min-ah

“oh, ya” Howon masih duduk. Sebenarnya kemana jiwanya? Tubuhnya seakan tak bernyawa, ia masih diam meski kata – katanya meluncur keluar

“Hoya” Howon menoleh, ia benar – benar merasa kasihan pada gadis itu, ia merasa dirinya masih ingin tinggal. Tapi untuk apa? semua sudah jelas, tak ada lagi yang perlu ia ketahui lagi. Min-ah sudah bercerita, Howon juga sudah mengerti. Ia kasihan, karena dirinya sendiri menyita waktu berharga pasien. Setelah ini pun Min-ah akan terbangun mungkin untuk cek up atau makan siang atau seorang servis yang bersih – bersih ruangan.

“maaf, aku akan keluar. Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa memanggilku” Min-ah memanyunkan bibirnya menatap sipit bercampur penasaran pada pria yang tak biasa meluangkan waktunya sia – sia. “maksudku, ya kalau perlu. Ku lihat Goun begitu lelah. Dan aku juga masih cuti kerja” tambahnya begitu melihat ekspresi Min-ah yang menjadi – jadi

“iya, aku jadi merasa bersalah”

“tenanglah hanya sekali” jawab Howon sambil tersenyum santai

“bukan kau, tapi Goun” bantah Min-ah jujur, lagi pula kalau benar ia merasa bersalah pada Howon seharusnya sudah dari kemarin ia akan memarahi Howon agar tidak datang. Memarahi? Bukannya kemarin ia sendiri jengkel pada Howon?

“ok, siapa pun itu” Howon menghela nafas menyesal karena bertingkah ‘sok tahu’. “dan ku harap kau segera baikan, karena--”

“kau tak bisa datang kemari lagi kan?” potong Min-ah

“kau benar, tapi alasanmu salah. Aku belum selesai bicara, jadi karena kau harus bekerja” Howon berbohong. Jelas hal itu tak mau ia akui “teman kantormu menanyakanmu, apa kau yakin sudah memberitahu mereka?” mata Min-ah memandang ke atas pertanda bahwa ia sedang mengingat – ingat sesuatu kemudian, ia menggeleng “dan karena apartemenmu sepi mereka menemuiku. Itu benar – benar mengganggu” benahnya kembali. Min-ah menghela nafas panjang “aku harus menandatangani baju mereka, atau bahkan tas mereka” Min-ah menguap

“kau sudah selesai bercerita?” tanya Min-ah, sejujurnya ia hanya bercanda tapi,

“Mianhe,” Howon menundukkan kepala, ia merasa bersalah. Sekarang waktu Min-ah beristirahat telah ia pakai. Sekali lagi “Miahe, aku pergi. Jangan lupa istirahat yang banyak” Min-ah menganggukkan kepala lalu,

“tasmu ketinggalan” Howon tersenyum lalu menutup pintu. Min-ah ragu sejenak membukannya, ia pikir Howon tak mendengarnya. Saat ia mulai membuka dilihatnya sebuah kamera, kamera miliknya. Ia berharap Howon tidak benar – benar membuka isinya, tidak, ia salah bahkan sudah ada orang yang lebih dulu melihatnya. Bagaimana dengan tiga orang itu?

TBC.............................